Salin Artikel

Hutan Larangan, Kampung Adat Cireundeu, dan Ancaman Pembangunan

Leweung (hutan) tutupan yang asri berubah gersang akibat kemarau panjang.

Sebulan kebelakang, api membakar pepohonan di sekitarnya. Puluhan hektar lahan hutan terbakar dan menyisakan arang pepohonan.

Belum diketahui penyebab kebakarannya, karena tangan jahil ataukah terbakar secara alami.

Kompas.com mencoba menjajal Gunung Puncak Salam yang berada di wilayah leweung Larangan.

Perjalanan kami tak lain untuk melihat leweung larangan yang di sakralkan kampung adat Cireundeu.

Perjalan kami ini ditemani Kang Entri (35) dan anaknya, yang merupakan warga kampung adat Cireundeu yang masih memegang teguh adat budaya setempat.

Kampung Adat Cireundeu diketahui merupakan kampung yang sebagian warganya memeluk dan memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan sampai saat ini.

Awal perjalan kami dimulai dari "Bale Saresehan". Tas dan peralatan yang kami bawa dititipkan di imah panggung, termasuk alas kaki atau sepatu.

Pasalnya, berdasarkan aturan adat setempat bagi siapapun yang hendak mendaki gunung itu harus menanggalkan alas kaki.

Masyarakat adat percaya bahwa alam dan manusia itu satu kesatuan yang tak bisa dipisahkan.

Menurut Entri, ada dua ibu di dunia ini, yakni ibu yang mengandung dan ibu yang tidak mengandung.

Alam merupakan perwujudan dari ibu yang tidak mengandung, yang memiliki peran sama yakni memberikan kehidupan.

Menanggalkan alas kaki merupakan suatu perhormatan masyarakat ada terhadap ibu atau hutan yang memberinya penghidupan.

"Alam ini kalau di adat mah ibu yang tak mengandung. Dia memiliki peran sama memberi air susu, menyediakan makanan dan minuman. Di adat, kita mendekatkan dan merekatkan diri dengan ibu yang tak mengandung atau alam," ujar Entri.

Hanya berbekal kamera, perjalanan pun dimulai. Entri kemudian mengarahkan kami menuju jalur pendakian.

Memasuki leweung baladahan, tampak lahan bercocok tanam warga yang ditanami pohon singkong dan sejumlah pohon umbian lainnya.

Singkong merupakan makan pokok masyarakat kampung adat Cireundeu. Mereka mengolahnya menjadi rasi (beras singkong). Kebiasaan itu sudah dilakukannya sejak puluhan tahun silam.

"Nah, di sini batasnya, alas kaki harus dilepas," Kata Entri seraya menunjuk jembatan kecil terbuat dari bambu yang merupakan batas memasuki hutan.

Tanpa alas kaki, kami pun berjalan menyusuri jalur yang ada. Cukup sulit bagi mereka yang tak biasa berjalan tanpa alas kaki, Rasa nyeri sesekali terasa ketika menginjak bebatuan, kerikil, dan ranting kering di sepanjang jalur.

Namun, hal itu merupakanb sensasi tersendiri yang dirasakan, bagaimana perjuangan ke puncak tanpa alas yang melindungi kulit kaki.

Jalan menanjak dan cukup terjal, di kanan dan kiri tumbuh pepohonan dan bambu.

Hanya saja saat itu tampak gersang, karena pengaruh cuaca kemarau dan sempat terjadi kebakaran hutan.

Ranting dan dedaunan gugur menutupi jalan setapak yang kami lalui. Tampak tumbuh tunas baru di sekitar serakan daun kering itu.

"Ini hutan tutupan, boleh ambil hasil hutannya asal harus ditutup kembali atau ditanam kembali. Makannya di sini banyak kayu dan bambu yang ditanam. Kalau yang di bawah tadi leweung baladahan, itu wilayah pertanian," tutur Entri.

Beberapa ratus meter sebelum puncak, kami disambut rimbun pepohonan pinus. Panas siang itu pun berubah teduh, cahaya matahari menusuk di balik celah pepohonan.

Sejenak kami rehat, terduduk menghirup udara segar. Sementara napas kami tersengal, anak lelaki Entri terlihat masih lincah berlari, ia memungut sampah - sampah di sekitar lokasi.

Maklum, beberapa waktu lalu ada rombongan yang masuk dan naik tanpa ditemani warga lokal. Alhasil beberapa sampah terlihat berserakan di lokasi.

Warga Kampung Adat Cireundeu konsisten menjaga alamnya sejak turun temurun. Memang sampah yang berserakan tak terlalu banyak. Namun, bagaimanapun sampah menjadi momok yang dapat mengancam keasrian alam.

Entri kemudian mengeluarkan karinding dari tas anyamannya. Masyarakat adat terbiasa membawa karinding ketika masuk leweung.

Bagi mereka karinding merupakan alat musik dari alam yang dibuat dari 'awi' yang memiliki arti asal wiwitan.

"Jadi kita diingatkan jangan lupa ke wiwitan asal kita," kata Etri.

ia kemudian memainkan bambu kecil yang mengeluarkan suara itu. Suara nyaring berpadu dengan siulan burung, bisikan angin, dan gemerisik dedaunan.

"Memang amanat orang tua dulu juga kalau tujuh langkah sebelum puncak harus main karinding, Alam itu menyukai suara karinding yang beras dari alam itu sendiri," tuturnya.

Sebelum memasuki puncak, tampak sebuah gapura bambu berwarna kuning, hitam, putih, dan merah yang sengaja dibuat warga sebagai penanda, gapura tersebut membentuk segitiga.

"Warna-warna ini identitas kesundaan," ujarnya.

Sesampainya di puncak, rasa lelah itu pun terbayarkan, tampak panorama pemandangan Kota Bandung, Cimahi, dan wilayah Kabupaten Bandung yang dikelilingi pegunungan.

Entri kemudian menujuk puncak hutan larangan yang disakralkan warga kampung adat Cireundeu.

"Hutan larangan itu memang dilarang dimasuki manusia, wilayah itu disakralkan," kata Etri.

Sebelum kembali turun, sejenak kami rehat mengumpulkan tenaga yang sempat terkuras, sambil menikmati panorama di sawung yang berdiri di puncak dengan ketinggian kurang lebih 900 Mdpl.

Sementara Entri masih sibuk mengumpulkan serakan sampah di sekitar untuk ia bawa turun dari gunung.

Menjaga hutan

Kampung adat Cireundeu tak menutup diri ataupun melawan perkembangan zaman. Mereka bahkan cenderung menyesuaikannya.

Hal tersebut terlihat dari bangunan perumahan warga yang terbuat dari beton, penggunaan ponsel, dan alat elektronik lainnya.

Sebagian dari mereka ada yang bekerja sebagai pengajar, petani, bahkan bekerja di perusahaan.

Namun secara sosial, masyarakat adat memegang teguh akar budayanya, salah satunya menjaga menjaga kelestarian hutannya.

Bagi masyarakat, adat hutan atau leuweung larangan merupakan wilayah sakral yang harus dijaga.

"Kenapa orang tua dulu mewariskan tentang tata wilayah tentang hutan larangan, tutupan dan baladahan itu adalah konsep dari leluhur atau formula yang sangat bagus sebetulnya untuk menjaga kesimbangan alam," tutur Jajat (42), penutur Kampung Cireundeu.

Menurut Jajat, Leweung larangan tak boleh ada campur tangan dari manusia manapun.

Apa yang ada di dalam Leweung itu akan dibiarkan tumbuh dan berkembang apa adanya.

Dijelaskan, orang Sunda mengenal leweung larangan dengan sebutan 'gentong bumi', yang memiliki arti tempat peresapan dan penyimpanan air.

Sehingga ketika musim hujan air tidak kelebihan dan musim kemarau air tak kekurangan.

"Secara adat ketika lingkungan atau hutan adat itu rusak maka akan berpengaruh pada perilaku masyarakat. Itu pasti akan terjadi di manapun masyarakat adatnya," kata Jajat.

Tentu bukan hal yang mudah untuk menjaga leweung larangan tetap asri. Secara geografis Kampung Cireunde berada di wilayah Kota Cimahi.

Sedang wilayah hutan larangan diapit oleh beberapa kampung dan daerah.

Pembangunan kota terus berkembang, masyarakat kampung Cireundeu khawatir, hal itu dapat mengikis habis dan mengancam keberlangsungan habitat hutan yang dijaganya sampai saat ini.

"Karena Cireundeu itu masuknya kota, yang namanya kota itu selalu membangun. Itu yang menjadi ancaman karena sebagian lahannya menjadi punya orang lain. Alih fungsi lahan, makanya sekuat  tenaga kami jaga. Itu mengapa masyarakat adat Cireundeu mensakralkan hutan larangan itu demi keberlangsungan kehidupan sekarang dan anak cucu nanti," ucap Jajat.

Hutan larangan bisa dimasuki ketika ada upacara adat ataupun sesuatu yang mendesak.

"Seperti misalkan tiba-tiba kayak kemarin ada kebakaran hutan melihat wilayah mana yang terbakar. Ada upacara namanya netepkeun kawilayahan. Seandainya sudah rusak, kita harus masuk ke sana dengan syarat ada puasa adat. Kita masuk ke sana menanam untuk melihat tanaman mana yang bisa ditanam sebagai pengganti tanaman yang rusak," kata dia.

Mengganti tanaman pun tidak sembarang. Ketika bibit pohon datang dari luar, harus dikarantina selama empat hari, bahkan yang menanamnya pun harus punya tanggung jawab, mengawal tumbuh kembang bibit pohon sampai 40 hari.

"Sampai kelihatan bisa tumbuh kalau mati harus segera diganti. Jadi tidak boleh sembarangan orang menanam," ujar Jajat.

Tak hanya pembangunan, pembalakan liar dan perburuan pun menjadi ancaman hutan larangan karena dapat mengganggu biota yang ada di dalamnya.

Meski begitu, warga kampung adat tidak bisa berbuat banyak, karena hutan larangan diapit oleh beberapa kampung dan daerah.

Karenanya, pihaknya berharap pemerintah dapat menyosialisasikan larangan tersebut, meski papan informasi larangan perburuan dan perusakan hutan telah terpasang di sekitar hutan tutupan.

"Mereka hanya sebatas bangga dengan adanya kewilayahan ini, tapi tindakan nyatanya sih belum kelihatan. Harusnya memperkuat lagi dengan aturan tentang kewilayahan hutan adat, dan enggak harus ngirim bibit tanaman da hutannya juga ada. Yang kebakaran bambu, itu mah bisa tumbuh setahun lagi. Tapi gimana caranya pohon endemik yang harus tetap dijaga," ucap Jajat.

Dua mata air itu dikenal dengan nama Nyi Mas Ende dan Caringin.

"Airnya istimewa, bisa langsung diminum," ujar dia.

https://regional.kompas.com/read/2019/11/20/09571211/hutan-larangan-kampung-adat-cireundeu-dan-ancaman-pembangunan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke