Salin Artikel

19 Tahun Hidup di "Dunia Malam" Lokalisasi Sunan Kuning: Saya Sudah Betah di Sini...

Perempuan yang akrab dipanggil Wati ini adalah salah satu pemilik wiswa dari 178 karaoke yang ada di lokalisasi yang ada sejak 1966 itu.

Kepada Kompas.com, Kamis (17/10/2019) malam, ia mengaku sudah 19 tahun melakoni kehidupan dunia malam di Lokalisasi Sunan Kuning.

"Awalnya sedih saat mendengar Pemkot Semarang akan menutup lokalisasi SK. Saya sudah betah di sini," ujar Wati.

"Tapi ya mau gimana lagi karena ini program pemerintah terpaksa harus dijalankan. Tapi untungnya karaokenya masih bisa tetap buka jadi ya bersyukur karena masih bisa dapat pemasukan meski tak seperti biasanya."

Wati mengaku selama 19 tahun menjalankan bisnis karaoke di lokalisasi, ia pernah mengantongi uang mencapai Rp 20 juta dalam satu malam.

Namun, sejak kabar penutupan berembus, setahun terakhir omzet Watu turun drastis hingga 70 persen.

"Wisma karaoke saya jadi sepi pengunjung sejak setahun terakhir akan ditutup. Yang datang jadi pada takut karena peraturan itu," kata Wati yang pernah jadi WPS selama 4 tahun ini.

"Maka omzetnya turun drastis enggak sampai Rp 10 juta, padahal mesti bayar uang sewa dua rumah karaoke yang masih ngontrak. Belum bayar kebutuhan yang lain."

Sementara itu, salah seorang pekerja di lokalisasi Sunan Kuning, Ayu, mengaku depresi dengan adanya penutupan lokalisasi lantaran sumber penghasilannya sudah hilang.

Sementara dirinya masih menanggung beban kehidupan keempat anaknya yang masih sekolah.

"Saya masih trauma dan stres. Bingung habis ini mau gimana. Beban utang masih banyak, anak-anak di rumah juga butuh makan dan bayar sekolah. Mungkin mau menenangkan diri dulu pulang ke Temanggung. Semoga bisa dapat pekerjaan lain setelah ini," kata Ayu.

Pascapenutupan, 448 wanita pekerja seks (WPS) di lokalisasi Sunan Kuning menerima uang tali asih.

Mereka akan dipulangkan dengan menggunakan fasilitas transportasi yang sudah disediakan oleh Pemkot Semarang hingga 21 Oktober 2019.

 

"Selain itu, prostitusi juga sebagai bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dianggap bagian dari perdagangan orang serta bentuk eksploitasi seksual dan ekonomi," ujar Ayu kepada Kompas.com, Sabtu (12/10/2019).

Ia mengatakan tidak pernah ada perempuan yang sukarela bekerja di industri prostitusi.

Namun, mereka dimanfaatkan pelaku perdagangan dan eksploitasi manusia.

Menurut data LBH Apik Semarang, prostitusi mengakibatkan multiple traumatic bagi perempuan yang dilacurkan.

Ayu menjelaskan 71 persen perempuan yang dilacurkan mengalami kekerasan fisik, 63 persen pemerkosaan, 89 persen perempuan yang dilacurkan tidak menyukai prostitusi tapi tidak berdaya untuk keluar, 75 persen tidak memiliki rumah, dan 68 persen terkena post traumatic stress disorder (PTSD).

Ia juga mengatakan, selama ini prostitusi dipandang dengan cara pandang patriarki, yakni perempuan yang dilacurkan selalu menjadi obyek dan tudingan sumber permasalahan dalam praktik prostitusi.

"Perempuan yang dilacurkan dihukum secara moral sebagai pihak pendosa, bahkan dihukum oleh negara sebagai pelaku tindak pidana, sedangkan laki-laki dianggap wajar melakukan pembelian jasa prostitusi," kata Ayu.

Menurutnya, Indonesia bisa belajar dari Swedia yang bisa mengatasi prostitusi secara efektif, yakni melalui Undang-Undang Prostitusi Swedia (Sex Purchase Act/Sexkopslagen) yang diperkenalkan sejak 1 Januari 1999.

"Swedia mulai menutup lokalisasi dengan mengkriminalisasi atau memberikan sanksi hukuman yang berat kepada para pembeli atau konsumen jasa prostitusi sebagai upaya memutus mata rantai prostitusi melalui berbagai program pemulihan dan pemberdayaan," kata Ayu.

Karena itu, para laki-laki konsumen jasa prostitusi akan memiliki kesadaran bahwa dengan membeli jasa perempuan yang dilacurkan berarti mereka akan dikenai sanksi hukum dan sosial.

Hal tersebut akan mengancam reputasi dan status sosial mereka sendiri sehingga mereka membuat keputusan lain, yaitu tidak membeli jasa prostitusi.

"Belajar dari hal tersebut, penutupan lokalisasi tidak mungkin dilakukan secara instan dengan hanya memberi pesangon kepada para perempuan yang dilacurkan dan mengabaikan berbagai persoalan kompleks di balik industri prostitusi," kata Ayu.

SUMBER: KOMPAS.com (Kontributor Semarang, Riska Farasonalia | Editor : Aprillia Ika, Khairina)

https://regional.kompas.com/read/2019/10/19/07370081/19-tahun-hidup-di-dunia-malam-lokalisasi-sunan-kuning-saya-sudah-betah-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke