Salin Artikel

Mendulang Harta Karun Sriwijaya di Desa Pelimbangan, Antara Nasib Nelayan dan Sejarah (2)

Selain menjadi nelayan ikan air tawar, Juarsah juga ikut berburu serpihan emas dan manik-manik yang ada di kanal PT Samora Usaha Jaya tak jauh dari kediamannya.

Jika sedang memasuki musim hujan, Juarsah bersama istri dan anaknya akan mencari ikan di sepanjang sungai.

Ikan jenis gabus, sepat akan ia dapatkan. Sebagian dijual dan sisanya lagi dikeringkan sebagai cadangan lauk untuk kebutuhan keluarganya.

Namun, pada musim kemarau, pria berkulit hitam dan berbadan tegap itu akan menjadi pemburu harta karun di PT Samora.

"Kalau musim hujan, kanalnya terendam air jadi susah kalau mau menggali. Kami cari ikan saja. Tapi kalau kemarau, baru kesana lagi," kata Juarsah.

Musim kemarau membuat air di kanal menjadi surut. Tumpukan lumpur diatas permukaan pun menjadi mengering.

Momen itu dimanfaatkan Jursah bersama para pemburu lain langsung bergegas membawa cangkul dan sekop.

Mereka lalu menggali dan mengambil tumpukan lumpur di atas kanal untuk dilimbang (kayak). 

Menuju lokasi perburuan pun bukanlah perkara mudah. Juarsah harus menggunakan sampan kecil hingga sampai ke kanal.

Perjuangan belum usai, para warga membuat semacam jembatan darurat dengan menggunakan kayu gelam.

Kayu itu dipasang memanjang dan dipaku ala kadarnya agar bisa dilewati. Warga yang melintas seperti telah biasa meskipun bergoyang.

Langkah kaki merekapun dengan santai melewati kayu gelam yang dipalangkan sebagai jembatan.

"Kadang sampai malam disini untuk mencari. Sehari dapatlah. Kalau tidak dapat emas, pasti manik-manik," ujar Juarsah.

Satu persatu tanah yang sudah bercampur lumpur itupun tak lepas dari genggaman Juarsah. Ia memilah sampai tumpukan tanah menjadi sedikit.

Meskipun emas yang kadang ditemukan berbentuk kecil karena hanya serpihan Jursah mengumpulkan itu di dalam botol plastik yang diikat ke leher.

"Paling besar itu dapat cincin. Tapi jarang, paling banyak serpihan begini. Atau manik-manik,"ujarnya.

Emas hasil temuan Juarsah dijual dengan harga Rp 400.000-Rp 500.000 per gram tergantung motif dan bentuknya.

Semua yang ia temukan tadi lebih dulu dikumpulkan lalu dijual dalam satu pekan sekali.

"Biasanya seminggu cukuplah. Dapat sekitar Rp2 juta sampai 3 juta. Tapi selama kemarau saja, kalau musim hujan cari ikan,"ujarnya.

Juarsah tak mengerti dari mana sumber emas maupun manik-manik yang ia temukan. Namun, memang banyak warga yang menurutnya menyebutkan kalau itu adalah peninggalan nenek moyang.

"Ya ada yang bilang Sriwijaya, ada yang bilang nenek moyang. Saya juga kurang paham. Kalau menggali itu, jika ditemukan pecahan guci pasti ada emas di sekitarnya. Biasanya begitu," ujarnya.

Jika nantinya pencarian itu dilarang, Juarsah akan menerima ikhlas. Namun ia bingung akan mencukupi kebutuhan keluarganya sebagai nelayan.

"Ikan kadang tidak laku dijual jadi lauk. Kalau dilarang, ya terpaksa berhenti dan jadi nelayan saja. Ini juga kan sebetulnya hanya bulan kemarau saja,"ujarnya.

Sehingga, tiga lokasi itu banyak ditemukan perhiasan seperti emas, manik-manik maupun logam mulia. 

"Kita menemukan kemudi kapal dengan ketebalan 5 sentimeter di situ. Sehingga dugaan itu adalah pelabuhan perdagangan masa Sriwijaya sangat memungkinkan," ujar Budi.

Selain kemudi kapal, banyak tiang rumah ditemukan di pinggir sungai lokasi perburuan.

Setelah dilakukan penelitian lebih mendalam, tiang itu telah ada pada abad ke 2 yakni pada zaman pra-Sriwijaya.

"Lalu pada penelitian Agusutus 2019 di Desa Sungai Jeruju, Kecamatan Cengal yang tidak jauh dari lokasi perburuan harta karun, ditemukan papan, perahu, kemudi, gerabah, dan keramik yang merupakan kebudayaan Dinasti Tang pada abad ke-8," kata Budi. 

"Dinasti Tang salah satu kebudayaan luar yang ikut berinteraksi dengan Sriwijaya pada masa tersebut. Perahu yang ditemukan pun bergaya Asia Tenggara yang budaya pembuatannya banyak terjadi pada abad 1-13."

"Harta karun itu memang kemungkinan berasal dari masa Sriwijaya dengan penemuan lain di sekitarnya yang sudah kita teliti. Tapi harus dipastikan lagi.”

Karena seluruh barang yang ditemukan warga banyak dijual tanpa lebih dulu melapor kepada dinas kebudayaan setempat.

Pada tahun depan, Budi bersama tim akan melakukan ekskavasi di desa Pelimbangan. Penelitian itu dilanjutkan untuk mencari alur sejarah kerajaan Sriwijaya.

“Warga mencari hanya emas, manik-manik, yang bisa dijual saja. Tapi jika menemukan keramik, gerabah, apalagi yang sudah pecah tidak utuh pasti dibuang," jelasnya.

"Padahal itu yang penting buat kita, bisa dicari tahu umurnya. Kalau temuan emas, logam itu tidak bisa diketahui umurnya. Kita juga sosialisasi kalau masyarakat menemukan keramik, guci, gerabah supaya dikumpulkan.”

https://regional.kompas.com/read/2019/10/12/08000061/mendulang-harta-karun-sriwijaya-di-desa-pelimbangan-antara-nasib-nelayan-dan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke