Salin Artikel

Langit Merah di Kota Jambi: Itu Bikin Orang Sesak Napas...

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut fenomena itu disebabkan jelaga atau partikel debu polutan berukuran sangat kecil sudah mencapai atmosfer dan sangat berbahaya jika terhirup.

Ratna Dewi, warga yang tinggal di Kelurahan Tanjung, Kabupaten Muaro Jambi, tak bisa lagi membedakan mana pagi atau malam. Keduanya tampak sama: gelap.

Ini karena matahari tak tampak, terhalang asap pekat akibat kebakaran lahan dan hutan.

"Kalau sekarang ada (kelihatan matahari) tapi samar-samar. Kalau kemarin-kemarin, tidak kelihatan matahari sama sekali," ujar Dewi saat dihubungi BBC News Indonesia, Minggu (22/9/2019).

Sudah dua minggu pula, langit di sana berubah merah kehitaman. Jarak pandang menjadi terbatas, kata Dewi, hanya sekitar 200 meter. Karena itulah, keluarganya sudah jarang keluar rumah kecuali dalam keadaan darurat.

"Kami sudah tidak keluar rumah. Mendep (tinggal) saja di rumah," katanya.

Sejak asap akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) mengepung Muaro Jambi, Dewi selalu menutup pintu dan jendela. Tapi asap menyelinap dari sela-sela ventilasi sehingga membekas hitam di lantai.

"Ini lantai rumah hitam, kaki jadi hitam. Makanya saya harus sering mungkin bersih-bersih atau debu menempel di lantai. Kotorlah."

Karena tak punya pembersih udara dan AC di rumah, Dewi sekeluarga sampai harus memakai masker di dalam rumah. Ia tak mau infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) memperparah kondisi anggota keluarga.

"Kami cuma ada kipas, tapi itu tidak berpengaruh. Makanya sesak. Anak sulung saya kena ISPA dua minggu lalu. Sampai sekarang belum hilang batuknya."

Teguh Arianto, warga di Desa Solok, Kecamatan Kumpeh Ulu, Kabupaten Muaro Jambi, mulai jengkel dengan kondisi udara yang tak kunjung membaik karena dua anaknya yang berusia lima dan sepuluh tahun kena ISPA. Batuk anak-anaknya tak kunjung hilang meski sudah dibawa ke puskesmas.

"Sesak udara ini kalau dihirup. Banyak debu berterbangan terbawa angin. Saya kan tidak punya AC atau pembersih udara."

Sepanjang ingatan Teguh yang lahir di Kabupaten Muaro Jambi, dampak kebakaran hutan dan lahan tahun ini sama persis seperti empat tahun silam.

"Kalau dulu itu, langit juga merah ditambah karhutla sebabkan asap. Jadi kondisi buruk begini terjadi selama dua bulan."

"Kami berharap asap ini segera hilang dengan adanya hujan. Kalau secara agama, kami sudah melakukan shalat Istikharah," ujarnya.

"Debu hasil pembakaran karhutla ada bagian yang kecil. Partikel kecil ini terbawa udara naik dan membentuk selimut atau lapisan asap di atmosfer. Kalau partikel yang menyebabkan warna merah, itu artinya ukuran diameter partikel sama dengan panjang gelombang warna merah di matahari," katanya.

Dari pantauan alat pengukur debu polutan milik BMKG, jelaga berukuran kecil di Provinsi Jambi sangat tinggi yakni mencapai 500 mikrogram per meter kubik. Itu artinya sangat tidak sehat atau berbahaya jika terhirup manusia. Kondisi yang sama juga terjadi di Palembang dan Pekanbaru.

"Ini menunjukkan bahwa kabut asap yang dihasilkan karhutla itu membahayakan kesehatan warga," katanya.

"Karena itu, imbauan BMKG ialah warga kalau bisa tetap memakai masker selama di luar ruangan. Baik lagi kalau maskernya terbuat dari bahan material nano. Karena ini kalau sudah merah kehitaman, artinya partikel debu polutan sudah bercampur antara partikel kasar dan halus."

Namun, ia mewanti-wanti, tanda udara lebih parah jika warnanya terlihat hitam kelabu.

"Itu bikin orang langsung sesak napas. Artinya akumulasi polutan konsentrasinya sudah sangat meningkat."

Pemantauan BMKG, kondisi seperti ini terjadi pada tahun 2015 tepatnya di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Langit terlihat oranye dan kekuningan.

Satu-satunya solusi, kata Siswanto, adalah air hujan. Hanya, khusus di wilayah Pekanbaru, Jambi, dan Sumatera Selatan, proses hujan buatan belum bisa optimal.

"Harapannya menuju Oktober, awan akan bergerak ke Riau, Jambi, Sumatera Selatan."

Kepala BPBD Provinsi Jambi, Bayu, mengatakan sudah sepekan ini proses pemadaman lewat udara dengan menggunakan tiga helikopter waterbombing lumpuh.

"Operasi lewat udara sudah beberapa hari ini tak bisa karena terhalang jarak pandang yang terbatas 400-500 meter. Jadi untuk ke tempat-tempat yang ada hot spot, heli agak kesulitan," kata Bayu kepada BBC News Indonesia.

Praktis pemadaman hanya mengandalkan jalur darat, tapi itu pun terkendala air.

Kini BPBD, kata Bayu, sedang merampungkan pembuatan sekat kanal di Desa Puding dan Seponjen, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, agar api tak merembet.

Sekat kanal dibuat di daerah itu lantaran luasan gambut yang terbakar paling banyak sekitar 100 hektar lebih.

"Di Seponjen, lahan terbakar sejak tiga hari lalu. Yang di Puding sudah dua minggu, sempat padam tapi karena tingginya panas, api hidup lagi," ujar Bayu.

Sekat kanal selebar lima meter itu, lanjut Bayu, baru rampung di Desa Puding. Tapi belum juga terisi air, api sudah melewati batas sekat.

"Jadi kesulitannya angin kencang. Sudah selesai sekat dicetak, api lompat. Kami juga kesulitan air karena kekeringan."

Dalam perkembangan lain, gubernur Jambi, kata Bayu, sudah memerintahkan pendirian rumah oksigen yang diperuntukkan untuk anak, ibu hamil, dan lansia yang rentan terhadap dampak asap karhutla.

Rumah oksigen itu akan dibuat di Kabupaten Muaro Jambi, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, dan Kota Jambi.

"Ya lokasi persisnya masih dicari. Karena kita lihat dulu masyarakat yang terdampak, jarak tempuhnya," katanya.

Mendengar rencana itu, warga seperti Dewi dan Teguh mengaku senang.

"Kami bersyukur sekali kalau bisa diungsikan. Tapi ini kan bingung mau ke mana. Kalau ada rumah oksigen, alhamdulilah," ucap Dewi.

"Warga mau saja pindah kalau ada rumah oksigen kalau kondisi begini. Yang kami khawatirkan dampak jangka panjang ke anak-anak, kena paru-paru," kata Teguh.

https://regional.kompas.com/read/2019/09/23/12120021/langit-merah-di-kota-jambi-itu-bikin-orang-sesak-napas

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke