Salin Artikel

Mengenal Kota Kapur, Prasasti Bukti Keberadaan Kerajaan Sriwijaya di Nusantara...

Prasasti Kota Kapur memiliki tinggi sekitar 1,5 meter dan berangka 608 saka atau 686 masehi. Prasasti itu ditemukan pertama kali oleh JK Meulen pada tahun 1892 di Desa Kota Kapur, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung.

Seorang ahli epigrafi bangsa Belanda bernama H Kerm kemudian membahas temuan itu.

Prasasti Kota Kapur berisi kalimat-kalimat ancaman berupa sumpah dan kutukan terhadap pihak yang tidak tunduk pada penguasa kala itu.

Terjemahan isi prasasti tersebut dapat dilihat melalui replika yang dipajang di Museum Timah Pangkal Pinang.

Berikut terjemahan Prasasti Kota Kapur:

Keberhasilan! Wahai sekalian dewata, yang berkumpul dan melindungi Kedatuan Sriwijaya ini; kamu sekalian dewa-dewa yang mengawali permulaan segala sumpah! Bilamana di pedalaman semua daerah yang berada di bawah Kedatuan ini akan ada orang yang memberontak yang bersekongkol dengan para pemberontak, yang berbicara dengan pemberontak, yang mendengarkan kata pemberontak; yang mengenal pemberontak, yang tidak berperilaku hormat, yang tidak takhluk, yang tidak setia, pada saya dan pada mereka yang oleh saya diangkat sebagai datu; biar orang-orang yang menjadi pelaku perbuatan-perbuatan tersebut mati kena kutuk biar […] dan biar mereka dihukum bersama marga dan keluarganya […] Tahun Saka 608, hari pertama paruh terang bulan Waisakha (28 Februari 686 Masehi), pada saat itulah kutukan ini diucapkan; pemahatannya berlangsung ketika bala tentara Sriwijaya baru berangkat untuk menyerang bhumi jawa yang tidak takhluk kepada Sriwijaya. (Terjemahan bebas Coedes).

Marita, peneliti Museum Timah mengatakan saat prasasti tersebut dibuat ekspedisi dari Kerajaan Sriwijaya sedang bergerak di tanah Jawa yang memiliki misi meminta pernyataan takluk dari penguasa Jawa.

“Terjemahan ini menyatakan adanya keinginan penguasa Sriwijaya kala itu untuk memperluas pengaruh mereka ke luar Sumatera. Tak tanggung-tanggung bala tentara diberangkatkan untuk meminta pengakuan tunduk dari raja-raja di Pulau Jawa,” kata Marita, Minggu (7/5/2019).

Sementara itu sejarahwan Pangkalpinang Akmad Elvian mengatakan sebelum prasasti ditemukan pada 1892 oleh JK Meulen, para ahli sejarah menyebut kedatuan besar yang menguasai Nusantara dan seluruh Asia Tenggara dengan sebutan Shih-li-fo-shih atau Fo-shih, berdasarkan berita perjalanan musafir I-Tsing.

"Beberapa ahli sejarah menganggap Kata "Sriwijaya" adalah nama seorang raja karena kebiasaan raja- raja di Nusantara menggunakan kata Sri di depan Abhiseka atau gelar yang berarti mulia," kata Elvian.

Kekaburan historisitas Sriwijaya menemukan titik terang karena adanya sumber berbahasa Melayu kuno dengan huruf Pallawa pada baris ke-2, baris ke-4, dan baris ke 10 prasasti Kota Kapur Bangka.

Pada baris ke-2 Prasasti Kota Kapur tercantum kalimat "....manraksa yam kadatuan Criwijaya kita..." yang berarti Kedatuan Sriwijaya ( kerajaan Sriwijaya).

Selanjutnya pada baris ke-4 tercantum tulisan ".... Ya mulam datu Criwijaya..." yang berarti Datu Sriwijaya atau Raja Sriwijaya. Selanjutnya pada baris ke-10, tercantum tulisan "....yam mala Criwijaya kaliwat..." yang berarti bala Sriwijaya atau tentara Sriwijaya.

Keberadaan prasasti Kota Kapur Bangka mempertegas bahwa nama kerajaan yang berkuasa hampir di seluruh wilayah Nusantara dan Asia Tenggara pada abad 7 sampai abad 13 Masehi adalah kerajaan atau kedatuan Sriwijaya.

"Hal menarik lagi dari prasasti Kota Kapur Bangka, yaitu pada baris ke-10 isi prasasti Kota Kapur terdapat kalimat " Bumi jawa tidak tunduk kepada Sriwijaya".

Menurut Akmad Elvian, para sejarawan sepakat bahwa Bumi Jawa yang ada dalam prasasti tersebut mengacu pada Kerajaan Tarumanagera di Jawa Barat.

Pada kejayaannya, Kerajaan Sriwijaya berstatus sebagai penguasa maritim yang menguasai jaur perdagangan internasional Selat Malaka.

Beberapa raja Sriwijaya yang pernah disebutkan adalah Raja Daputra Hyang, Raja Dharmasetu, Raja Balaputradewa, Raja Sri Sudamaniwarmadewa, dan Raja Senggrama Wijayattunggawarman.

Kepala Desa Kota Kapur, Makmun mengatakan ada tiga situs di wilayah tersebut yang nyaris tidak dikenali dan tampak seperti perkebunan biasa.

Penduduk setempat bahkan sengaja menutup area situs dengan timbunan tanah untuk menghindari penjarahan.

Hanya plang nama yang menjadi penanda bahwa sejumlah kawasan menjadi lokasi penemuan benda bernilai sejarah.

“Gundukan tanah ini sengaja dibuat untuk menutupi situs di dalamnya. Kondisi ini bahkan sudah sejak lama. Konon di dalamnya ada susunan bata dan tembikar,” kata Makmun saat berbincang dengan Kompas.com di Desa Kota Kapur, Sabtu (18/8/2018).

Situs pertama berupa benteng alam dengan toppgrafi perbukitan.

Situs kedua berada di perkebunan sahang (lada). Terdapat dua buah batu bundar yang diyakini bagian dari lokasi pemandian penguasa Kota Kapur kala itu.

Sementara di situs ketiga berada di perkebunan karet dan durian. Di kawasan tersebut hanya ada gundukan tanah yang sengaja dibuat untuk menyembunyikan benda-benda di dalamnya.

Satu kilometer dari situs tersebut, mengalir Sungai Medno yang terhubung dengan selat yang memisahkan Sumatera Selatan dan Pulau Bangka.

Konon penguasa Sriwijaya dari daratan Sumatera Selatan (Palembang) masuk ke Kota Kapur melalui jalur Sungai Mendo.

Kedatangan ekspedisi Sriwijaya untuk mengingatkan penguasa Kota Kapur untuk tunduk dan patuh.

Sebagai peringatan, parasasti yang berisi sumpah dan kutukan bagi setiap orang yang membangkang terhadap Raja Sriwijaya ditinggalkan di wilayah tersebut.

Batu tersebut bertekstur licin seperti bebatuan di hulu sungai daratan Sumatera yang memiliki panjang satu meter dengan lubang di bagian tengahnya

Sementara di Bangka, bebatuan umunya jenis granit dan metamorf yang terdapat di pesisir pantai.

Batu yoni tersebut disimpan secara turun temurun oleh juru pemelihara (juper) Situs Kota Kapur, Mahadir.

“Dulunya dari orang tua saya yang menyimpan. Beliau pernah diangkat sebagai kepala kampung sekitar tahun 1939. Masih zamannya Belanda,” ungkap Mahadir.

Mahadir mengaku, keluarganya ditunjuk langsung sebagai juru pemelihara situs oleh Balai Pelestarian Benda Cagar Budaya Regional Jambi. Selain melakukan tugas pemeliharaan, dia pun kerap diajak untuk menghadiri seminar dan promosi pariwisata daerah.

“Kadang batu Yoni ini langsung saya bawa. Jadi orang yakin ada banyak peninggalan yang perlu diperhatikan pemerintah,” ujarnya.

Menurutnya, batu yoni tersebut memiliki pasangan yakni batu lingga yang berbentuk bulat panjang mirip tombak. Namun batu lingga tersebut telah dibawa arkeolog untuk disimpan di salah satu museum di Jakarta.

“Banyak yang menafsirkan bahwa batu Yoni dan batu Lingga menyimbolkan pasangan kelamin perempuan dan laki-laki. Namun ada juga yang menafsirkan bahwa ini senjata tombak dengan tempat untuk menancapkannya,” kata Mahadir di rumahnya di Desa Kota Kapur.

Mahadir mengungkapkan, belum ada pengelolaan khusus terhadap situs maupun benda-benda peninggalan Kota Kapur. Namun sudah ada beberapa kelompok masyarakat yang melakukan promisi di media sosial.

“Saat ini kami cukup terbantu dengan dibuatnya peta wisata dan gerbang masuk Kota Kapur. Ini bagian dari KKN mahasiswa yang diresmikan Rektor Universitas Bangka Belitung M Yusuf,” katanya.

SUMBER: KOMPAS.com (Heru Dahnur)

https://regional.kompas.com/read/2019/08/29/15280071/mengenal-kota-kapur-prasasti-bukti-keberadaan-kerajaan-sriwijaya-di

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke