Salin Artikel

Menelisik Jejak Kerajaan Sriwijaya, Disebut Fiktif hingga Bukti Prasasti Kota Kapur

Arya, salah satu anggota komunitas tersebut, mengatakan, penggunaan metal detector mempercepat pencarian jejak peninggalan zaman Sriwijaya dibandingkan dengan cara-cara manual.

"Di Sumsel saya yang pertama menggunakan metal detector sejak 2017. Tahun 2019 sudah mulai banyak yang ikut pakai metal detector, memang dalam memastikan posisi jejak sejarah jauh lebih akurat," ujar Arya di Palembang, Selasa (25/6/2019).

Dengan metal detector, mereka dapat langsung menemukan titik terang lokasi kurang dari satu hari tanpa harus mereka-reka dengan cara manual.

Arya sendiri mengaku telah mengumpulkan 100 koleksi jejak Kerajaan Sriwijaya, seperti koin, kalung, manik-manik, tombak, dan cincin sejak menggunakan metal detector.

Mayoritas penemuan berada di pinggiran dan di dalam Sungai Musi di wilayah Mariana, Kedukan Bukit, Ujung Borang, dan Ujung Kenten.

"Dalam memastikan itu peninggalan zaman Sriwijaya atau bukan, saya bertanya dan belajar dari dosen-dosen sejarah di Palembang atau bertanya kepada pemburu lain. Jika asli, akan saya simpan di rumah," katanya.

Barang-barang bersebut tidak ia perjualbelikan. Namun, jika ada peneliti dari luar negeri, seperti Spanyol, Afrika, Singapura, dan Makau, akan diberikan sebagai buah tangan.

"Mungkin bagi orang lain, peninggalan sejarah tidak ada artinya, tapi bagi saya ini sudah jadi hobi sejak kecil serta tujuannya menjaga aset sejarah," kata Arya.

Sementara itu, di Ogan Komering Ilir, warga sempat heboh mencari harta karun yang diperkirakan peninggalan Kerajaan Sriwijaya.

Harta karun ditemukan sejak 2015 setelah kebakaran hutan di wilayah Sungai Bagan, Kanal 12, Pulau Tengkoran, Pulau Pisang, dan Kemada, serta beberapa situs di wilayah Desa Ulak Kedondong, Kecamatan Cengal, termasuk Talang Petai.

Ringgu, salah satu tokoh pemuda setempat, mengatakan untuk mencari harta karun, warga rela berkemah berhari-hari.

Untuk menuju ke Talang Petai, butuh waktu 2 jam dengan naik perahu menyusuri sungai menuju Selat Bangka dengan menyewa perahu Rp 1 juta untuk PP.

Seorang warga pernah menemukan emas berbentuk keong di Talang Petai, Desa Simpang Tiga, Kecamatan Tulung Selapa.

Sayangnya, keong emas tersebut dijual warga ke toko emas di Palembang dengan harga yang ditawarkan mencapai ratusan juta rupiah.

Kusnaini, seorang warga, mengatakan, suaminya menemukan banyak harta karun. Salah satunya cincin emas yang memiliki kadar 9,58 gram dengan berat 5,7 ons.

Selain itu, Kusnaini juga menyimpan serbuk emas yang dia bungkus dengan plastik obat, keramik China yang diduga berasal dari Dinasti Tang, anting-anting, mangkuk perunggu, manik-manik, dan gerabah.

Kabid Kebudayaan Dinas Pariwisata OKI Nila Maryati mengatakan, temuan benda peninggalan Kerajaan Sriwijaya di Teluk Cengal, Kecamatan Cengal, Kabupaten OKI, menjadi perhatian pemerintah daerah.

"Kesulitan bagi OKI ialah di OKI tidak ada tenaga ahli dalam penemuan benda lama sehingga harus menunggu hasil laporan dari pihak BPCB," ujarnya.

Dia menyebutkan, di wilayah pesisir pantai timur OKI, memang banyak laporan tentang penemuan benda yang tertanam di bawah tanah dan di atas lahan gambut.

"Warga desa menemukan barang-barang itu ketika lahan gambut terbakar dan warga hendak melakukan penanaman padi ala sonor," ujar Nila.

 

“Para penduduk Sanfo-tsi (Sriwijaya—red) tinggal secara tersebar di luar kota atau di atas air, dengan rakit-rakit yang dilapisi dengan alang-alang,” tulis Chau-Ju-kua.

Hal tersebut menjawab pertanyaan yang kerap dilontarkan terkait ibu kota Sriwijaya.

Dilansir dari Kompas.com, 17 September 2013, Nurhadi, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Balai Arkeologi Pelambang, mengatakan, permukiman Sriwijaya dibuat dengan konsep mendesa.

“Rumah-rumah dibangun dengan bahan kayu dan bambu berupa rumah panggung atau rumah terapung,” lanjutnya.

Hal tersebut karena lokasi permukiman berada di tepian Sungai Musi yang terkadang meluap.

Menurutnya, dataran di wilayah Palembang pada masa silam banyak berupa rawa. Hanya bangunan keagamaan yang dibangun oleh Sriwijaya dengan bahan bata merah mengingat lokasinya di tempat tinggi.

Sementara itu, peneliti dari Balai Arkeologi Sumatera Selatan (Sumsel) Retno Purwati mengatakan Kerajaan Sriwijaya pertama kali ditemukan oleh sejarawan asal Perancis George Coedes pada 1918 setelah ditemukannya Prasasti Kota Kapur.

Prasasti Kota Kapur yang ditemukan di Desa Kota Kapur, Kabupaten Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, berisi kalimat-kalimat ancaman berupa sumpah dan kutukan terhadap pihak yang tidak tunduk pada penguasa kala itu.

Seorang ahli epigrafi bangsa Belanda bernama H Kerm akhirnya membahas temuan itu.

Awalnya Sriwijaya sempat diduga sebagai nama seorang raja. Namun, setelah ditemukan Prasasti Kedukan Bukit di Palembang, diketahui Sriwjaya adalah nama kerajaan yang berdiri pada abad ke-7.

Prasasti lain yang menyangkut Kerajaan Sriwijaya juga ditemukan, baik dalam keadaan utuh maupun pecahan.

Selain itu, beberapa arkeolog dari luar negeri juga menbahas tentang Kerajaan Sriwijaya.

Salah satunya adalah penulis asal Jepang Takashi Suzuki yang telah dua kali menerbitkan buku tentang Kerajaan Sriwijaya.

Buku pertama yang terbit pada 2012 berjudul The History of Srivijaya Under the Tributary Trade System of China dan buku kedua berjudul The History of Srivijaya Angkor and Champa yang terbit pada 2019.

Retno mengatakan pada 2014 saat seminar soal Kerajaan Sriwijaya, arkelog dari India, Inggris, Jepang, dan Singapura juga sempat berdatangan ke Palembang.

“Dan bahkan sampai sekarang ibu kota Sriwijaya jadi rebutan, ada yang bilang di Palembang, Jambi, Pekanbaru, Medan, Malaysia, bahkan Thailand. Kalau fiktif, kenapa sampai direbutkan begitu?” ujarnya.

Sementara itu, sejarawan Pangkalpinang, Akmad Elvian, mengatakan, prasasti di Kota Kapur Bangka, Kepulauan Bangka Belitung, yang berangka 608 Saka atau 686 Masehi adalah salah satu bukti kuat tentang keberadaan dan nama kedatuan Sriwijaya.

Sebelum prasasti ditemukan pada 1892 oleh JK Meulen, para ahli sejarah menyebut kedatuan besar yang menguasai Nusantara dan seluruh Asia Tenggara dengan sebutan Shih-li-fo-shih atau Fo-shih berdasarkan berita perjalanan musafir I-Tsing.

"Beberapa ahli sejarah menganggap kata 'Sriwijaya' adalah nama seorang raja karena kebiasaan raja-raja di Nusantara menggunakan kata Sri di depan Abhiseka atau gelar yang berarti mulia," kata Elvian.

Kekaburan historisitas Sriwijaya menemukan titik terang karena adanya sumber berbahasa Melayu kuno dengan huruf Pallawa pada baris ke-2, baris ke-4, dan baris ke-10 prasasti Kota Kapur Bangka.

Pada baris ke-2 Prasasti Kota Kapur tercantum kalimat "....manraksa yam kadatuan Criwijaya kita..." yang berarti Kedatuan Sriwijaya (Kerajaan Sriwijaya).

Selanjutnya pada baris ke-4 tercantum tulisan ".... Ya mulam datu Criwijaya..." yang berarti Datu Sriwijaya atau Raja Sriwijaya. Selanjutnya pada baris ke-10 tercantum tulisan "....yam mala Criwijaya kaliwat..." yang berarti bala Sriwijaya atau tentara Sriwijaya.

Keberadaan prasasti Kota Kapur Bangka mempertegas bahwa nama kerajaan yang berkuasa hampir di seluruh wilayah Nusantara dan Asia Tenggara pada abad 7 sampai abad 13 Masehi adalah kerajaan atau kedatuan Sriwijaya.

"Hal menarik lagi dari prasasti Kota Kapur Bangka, yaitu pada baris ke-10 isi prasasti Kota Kapur, terdapat kalimat 'Bumi Jawa tidak tunduk kepada Sriwijaya'".

"Para sejarawan sepakat bahwa yang dimaksud dengan Bumi Jawa di kalimat ini adalah Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat," ujar penulis buku Kampoeng di Bangka  itu.

Terkait belakangan ini ada yang menilai Sriwijaya adalah cerita fiktif, Akmad Elvian enggan mengomentari. Ia meminta masyarakat merujuk pada sumber sejarah dan bukti-bukti yang telah ditemukan.

"Dari sumber yang ditemukan, Sriwijaya memang benar adanya," ucap Elvian yang pernah bertugas sebagai kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Pangkalpinang.

SUMBER: KOMPAS.com (David Oliver Purba, Erlangga Djumena, Yunanto Wiji Utomo, Heru Dahnur, Aji YK Putra)

https://regional.kompas.com/read/2019/08/29/12040061/menelisik-jejak-kerajaan-sriwijaya-disebut-fiktif-hingga-bukti-prasasti-kota

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke