Salin Artikel

Tragedi Orientasi SMA Taruna Indonesia, Pembimbing Tak Miliki Kompetensi hingga Izin Sekolah Terancam Dicabut

PALEMBANG, KOMPAS.com- Kasus penganiayaan yang menimpa dua orang siswa di sekolah SMA Semi Militer Plus Taruna Indonesa Palembang terus menjadi sorotan publik.

Bahkan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) ikut turun tangan untuk mengetahui permasalahan yang telah menghilangkan nyawa DBJ (14) ketika mengikuti kegiatan orientasi di sekolah.

Selain DBJ, WJ (14) pun kini dalam kondisi yang kritis. Sejak Sabtu (13/7/2019) lalu, korban mengalami operasi usus karena diduga menjadi korban kekerasan.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) akan mengawal kasus tersebut sampai tuntas. Dari hasil investigasi mereka, terdapat banyak kejanggalan di sekolah yang menerapkan pendidikan semi militer tersebut.

 

1.Pembina sekolah SMA Taruna tak miliki kompetensi sebagai pelatih fisik

Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Selatan mendapatkan fakta baru dalam kasus orientasi maut yang menyebabkan seorang siswa SMA Semi Militer Plus Taruna Indonesia tewas. 

Tersangka Obby Frisman Arkataku (24) diketahui tak memiliki kompetensi sebagai khusus sebagai pelatih fisik dalam rangkaian kegiatan orientasi siswa.

Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Selatan Widodo mengatakan, hasil keterangan yang mereka dapat, Obby baru bekerja selama satu pekan di sekolah tersebut. 

Selain itu, Obby ternyata adalah guru Bimbingan dan Konseling (BK) di sekolah SMA Semi Militer Plus Taruna Indonesia. 

"Gurunya bukan guru fisik ataupun olahraga yang tahu takaran fisik siswa. Sehingga terjadi hal seperti ini. Ini yang sedang di selidiki, kenapa ada guru baru yang diberi tugas seberat itu,"kata Widodo, usai membesuk WJ (14) yang juga korban kekerasan SMA Taruna Indonesia di rumah sakit RK Charitas Palembang, Rabu (17/7/2019). 

Kegiatan long march dengan berjalan sejauh 8,7 kilometer yang dilakukan saat orientasi menurut Widodo merupakan hal yang ilegal. Sebab, mereka tak mendapatkan pemberitahuan apapun dari pihak sekolah. 

"Ini kan kegiatan di luar pagar sekolah, harus ada izin ke kami. Sampai sekarang tidak ada izin, sehingga kami tidak bisa monitor,"ujarnya.  

 

2.Biaya masuk mahal, fasilitas tak menunjang

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan hal terbaru ketika menyelidiki kasus orientasi siswa di Sekolah SMA Semi Militer Taruna Plus Indonesia yang menyebabkan DBJ (14) tewas. 

Temuan itu berupa biaya yang tak murah ketika masuk dan mendaftar sebagai siswa di sekolah tersebut.

Komisioner KPAI Retno Listyarti mengatakan, hasil wawancara dengan orangtua murid, mereka harus mengeluarkan uang Rp 22 juta ketika masuk ke sekolah SMA Semi Militer Plus Taruna Indonesia. 

Selain itu, saat ajaran berlangsung, wali murid juga harus membayar uang per bulan Rp 1,5 juta dan membayar uang per semester Rp 3 juta. 

Biaya yang besar, menurut Retno, tak sesuai dengan kondisi sekolah yang menurutnya kurang layak dijadikan asrama. 

"Saya keliling asrama, saya lihat prasarana dan sarana kurang, tidak memadai untuk sekolah berasrama dan ini tidak murah (biaya sekolah),"kata Retno ketika menyambangi WJ (14) salah satu siswa yang jadi korban kekerasan SMA Taruna Indonesia di rumah sakit RK Charitas Palembang, Rabu (17/7/2019).  

Retno menyebutkan, pihak sekolah pun selama ini "menjual" nama pendidikan semi militer untuk menarik minat para calon siswa maupun wali murid.

Mereka berasumsi, jika telah menyelesaikan sekolah tingkat SMA di sana, dapat mempersiapkan diri untuk masuk ke Akademi Militer (Akmil) maupun Akademi Kepolisian (Akpol). 

"Saya minta data lulusan disini (SMA Taruna Indonesia) yang betul-betul ke Akmil maupun Akpol. Ternyata tidak ada. Yang lulusan tahun kemarin hanya masuk Secaba (Sekolah Calon Bintara) tidak ada yang masuk ke Akmil," ujarnya. 

 

3.Gubernur ancam tak perpanjang izin sekolah SMA Taruna 

Gubernur Sumatera Selatan Herman Deru akan memberikan sanksi tegas kepada pihak sekolah SMA Semi Militer Plus Taruna Indonesia jika terbukti adanya pelanggaran prosedur tetap (protap) dalam pelaksanaan orientasi yang menyebabkan satu orang siswanya tewas. 

Menurut Herman, pihak kepolisian saat ini masih terus melakukan penyelidikan terkait tersebut, bahkan pembina dari sekolah telah ditetapkan sebagai tersangka penganiayaan. 

"Kita lihat kurikulumnya, saya tidak sembarang mau ngomong tutup-tutup, kasihan sama siswa yang ada, karena proses kegiatan belajar mengajar sudah lama berjalan. Tapi kalau memang syaratnya tidak terpenuhi dalam masa orientasi siswa itu, kita akan tegur keras sekolah itu. Kalau tidak bisa ditegur keras, ada tingkatan lagi untuk mereka," kata Herman, Rabu (17/7/2019). 

Herman juga mengimbau wali murid agar lebih selektif memilih sekolah untuk anak dengan tidak mengedepankan ego. 

"Sudah enggak zamannya lagi pelonco, nggak zamannya lagi, tapi memang sekolahnya gaya-gaya militer. Saya heran orangtua mau sekolahkan anak-anak di tempat seperti itu. Akan dilihat, ini ulah oknum atau protap, kalau protap, sekolahnya yang kita sanksi," tegasnya. 

 

4.Pemerintah Sumsel tanggung biaya perawatan WJ

Kondisi WJ saat ini masih belum sadarkan diri usai menjalani operasi, sejak Sabtu (13/7/2019) kemarin lantaran usus korban terlilit diduga karena mengalami kekerasan. 

Terlihat di ruang perawatan rumah sakit, selang oksigen masih menempel di hidung WJ.

Nurwanah, ibu korban tak beranjak dari sebelah kanan ranjang menunggui buah hatinya tersebut. 

Sejak hari pertama dirawat, ibu WJ tak pernah meninggalkan putranya di dalam kamar.

Begitu disambangi oleh Kepala Dinas Pendidikan Sumsel Widodo bersama Feby Deru yang merupakan istri Gubernur Sumsel, Nurwanah masih terlihat begitu terpukul. Ia sesekali menyampaikan keluh kesahnya soal kondisi WJ. 

"Saya sedih melihat kondisi korban, saya rasakan betul begitu terpukulnya orangtua dari WJ ini. Kita doakan agar WJ cepat sembuh dan bisa kembali bersekolah," kata Feby usai membesuk. 

Kepala Dinas Pendidikan Sumsel Widodo pun menjelaskan, biaya perawatan WJ sepenuhnya akan menjadi tanggung jawab pemerintah provinsi Sumatera Selatan hingga sembuh. 

Selain itu, mereka juga masih fokus untuk melakukan kroscek kepada pihak sekolah, terkait kejadian orientasi maut yang merenggut nyawa pelajar mereka.

"Iya, semuanya pemprov yang tanggung (biaya perawatan),"kata Widodo usai membesuk. 

4.Latihan fisik di luar batas

Widodo mempersoalkan tindakan sekolah yang menerapkan pelajaran fisik di luar kapasitas seorang pelajar. Hal itu membuat DBJ (14) harus meregang nyawa karena dianiaya oleh pembinanya. 

Permulaan penganiayaan itu karena korban tak mengikuti intruksi pembina akibat kelelahan usai menempuh jalan kaki sejauh 8,7 kilometer ke sekolah 

"Militer sekalipun harus ada takaran fisik. Ini di luar takaran, bahkan ada pemukulan,"ujar Widodo.

Widodo menyayangkan pihak sekolah yang tak melakukan pengawasan ekstra saat orientasi berlangsung.

Menurutnya, masa orientasi atau Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) tak diperkenankan adanya kegiatan fisik.  

"MPLS ini mengenalkan mereka agar mereka diterima di situ, bukan kegiatan fisik. Ini sudah di luar takaran, semua harus dievaluasi, termasuk izin sekolah," ujarnya.  

https://regional.kompas.com/read/2019/07/18/06445091/tragedi-orientasi-sma-taruna-indonesia-pembimbing-tak-miliki-kompetensi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke