Salin Artikel

Perjalanan Panjang Baiq Nuril Mencari Keadilan...

Tulisan sederhana itu dibuat Rafi, Kamis (15/11/2019) untuk ibu kandungnya, Baiq Nuril yang terjerat kasus UU ITE setelah Mahkamah Agung memenangkan kasasi Jaksa Penuntut Umum dan membatalkan putusan bebas Nuril oleh Pengadilan Negeri Mataram.

Selama ini, si bungsu tidak mehami jika 'sekolah' yang harus dijalani ibunya adalah dipenjara.

Menanggapi hal tersebut tim kuasa hukum Baiq Nuril mengajukan peninjauan kembali ke Mahkahmah Agung pada 3 Januari 2019.

8 bulan kemudian, tepatnya di 4 Juli 2019, Mahkamah Agung ( MA) menolak peninjauan kembali (PK) yang diajukannya Baiq Nurul

Nuril terancam kembali dipenjara enam bulan dan denda Rp 500 juta. MA memutuskan Nuril bersalah karena dianggap melanggar Pasal 27 ayat 1 UU ITE.

Bukan hanya melalui telepon, Nurul juga sering dipanggil ke ruangan kepala sekolahnya untuk mendengarkan hal yang sama saat kerja lembur

Hal tersebut membuat Nuril tertekan, apalagi Nurul diisukan memiliki hubungan spesial dengan atasanya tersebut.

Namun isu tersebut ditampik oleh Nuril.

Agustus 2012, sekitar pukul 16.30 WITA, secara diam-diam Nuril merekam pembicaraan atasannya saat bercerita masalah yang mengandung unsur asusila. Hal itu dia lakukan untuk membuktikan jika tidak benar dia memiliki hubungan spesial dengan atasannya.

Rekaman tersebut hanya disimpan di dalam handphone milik Nurul.

Dua tahun kemudian, tepatnya Desember 2014.

Nuril didesak kawan-kawannya untuk menyerahkan rekamannya. Awalnya ia menolak namun karena beberapa kali dibujuk akhirnya ia luluh dan menyerahkan HP berisi rekaman perbincangannya kepada IM, salah satu rekannya.

IM dan rekan-rekan guru melaporkan kejadian tersebut ke Kepala Dinas Pendidikan. Rekaman perbincangan yang direkam itu menyebar.

Alhasil, karier Muslim sebagai kepala sekolah tamat. Ia di mutasi.

Nuril pun dipecat dari pekerjaannya.

"Semua sudah dihapus, flashdisk sudah dibuang. Sudah damai waktu itu, cuma dia masih marah karena dimutasi itu. Akhirnya dia melapor ke Polres Mataram. Dari Polres Mataram itulah di BAP semua," kata Isnaini, suami Nuril (5/11/2017).

Bahkan saat sang kepala sekolah dimutasi, keluarga Nuril dan pihak sekolah ke rumah Muslim untuk meminta maaf dan berdamai.

Muslim memaafkan namun proses hukum terus berjalan.

Saat Nuril ditahan, Isnaini, suami Nuril terpaksa berhenti dari pekerjaannya dari salah satu rumah makan di Gili Trawangan karena harus mengurus ketiga buah hatinya yang masih kecil.

Beberapa bulan setelah kejadian tersebut, mantan atasan Nuril naik jabatan menjadi kepala bidang di salah satu dinas di Pemkot Mataram.

Tim hukum Nuril kemudian mengajukan surat penangguhan penahanan dengan alasan kemanusian, karena Nurul memiliki tiga orang anak yang masih membutuhkan perhatian dari orangtua.

Saat itu sudah ada 28 nama baik dari lembaga maupun perorangan yang bersedia menjadi penjamin penangguhan penahanan untuk terdakwa Nuril.

Beberapa penjamin di antaranya, Kepala Dinas Sosial, Kepala Dinas Perdagangan, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Ketua DPRD Lombok Timur, Ketua Komisi V DPRD Provinsi NTB dan beberapa lembaga lainnya.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Yati Andriyani mengatakan, jerat hukum melalui penuntutan di pengadilan dengan dakwaan melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ( UU ITE) atas Baiq Nuril, adalah bentuk kriminalisasi.

Menurutnya, Nuril bukanlah pihak yang mendistribusikan atau menyebarkan rekaman perbuatan asusila yang diceritakan kepadanya.

"Penahanan terhadap Ibu Nuril adalah tindakan yang belebihan, mengingat Ibu Nuril memiliki tiga orang anak. Tidak ada hal-hal yang membuatnya akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti, atau mengulang perbuatannya," ujar Yati kepada Kompas.com, Selasa (16/5/2017).

Menurutnya, Nuril harus dilindungi dan bukannya dikriminalisasi karena perbuatan asusila atasannya. Yati meminta hakim untuk membebaskan Nuril dari penahanan dan membebaskannya dari segala tuntutan hukum.

27 Juli 2017, Nuril divonis bebas oleh PN Mataram dan tidak terbukti melanggar Pasal 27 Ayat 1 UU ITE.

Namun jaksa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung

Pada 26 September 2018, Mahkamah Agung memutuskan Nurul bersalah melakukan tindakan pidana rekaman perbincangan perbuatan asusila kepala sekolahnya.

Selain itu pada 16 November 2018, surat panggilan untuk Nuril dikeluarkan. Dalam surat tersebut Nuril harus menghadap Jaksa Penuntut Umum pada 21 November 2018.

Koalisi Masyarakat Sipil Save Ibu Nuril membuat petisi daring di laman change.org terhadap Presiden RI Joko Widodo untuk memberi amnesti bagi Baiq Nuril.

Petisi tersebut digagas oleh sekelompok orang dengan berbagai latar belakang, termasuk para artis dan aktivis.

Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu dalam petisinya menyoroti putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan Nuril bersalah atas penyebaran percakapan asusila atasannya.

Selain diputus bersalah oleh MA, Nuril juga dijatuhi hukuman penjara 6 bulan dan denda Rp 500 juta.

Sementara itu di Mataram, tempat tinggal Nuril, seratusan simpatisan yang tergabung dalam Solidaritas untuk Nuril , Minggu (18/11/2018), menggelar aksi tolak eksekusi terhadap Nuril, di Jalan Udayana Mataram.

Dalam aksi itu, Nuril yang turut hadir. Ia menangis saat berada di tengah-tengah massa aksi yang mendukungnya.

Nuril tak mengeluarkan sepatah kata pun, dia hanya terdiam. Tiba-tiba Nuril lemas memegang kedua kepalanya dan sejumlah orang membawa perempuan yang memiliki tiga anak itu untuk menenangkan diri.

19 September 2018 Nuril melaporkan Muslim, mantan atasannya yang saat itu menjabat sebagai kepala Bidang Pemuda dan Olahraga Kota Mataram ke polisi.

Muslim kemudian diperiksa pada Selasa (27/11/2018) malam selama 8 jam.

Dari pantauan Kompas.com, Muslim terlihat bingung dan beberapa kali memegang kepalanya dan bersandar di kursi.

Sayangnya, karena dinilai tak cukup bukti, laporan Baiq Nuril Maknun atas tindakan dugaan pelecehan seksual secara verbal oleh mantan atasannya atau mantan kepala SMA 7 Mataram, Muslim ke Polda NTB, dihentikan.

"Karena minimnya saksi dan petunjuk yang dapat membantu mengungkap peristiwa sebagaimana yang dilaporkan, sehingga perkara tidak dapat ditingkatkan ke penyidikan," ujar Kasubdit IV Renakta Ditreskrimum Polda NTB, AKBP Ni Made Pujawati kepada Kompas.com usai gelar perkara terkait laporan Nuril, Rabu (17/1/2018).

Pujawati juga mengatakan bahwa pihaknya kesulitan mencari unsur perbuatan cabul seperti yang dilaporkan Nuril dan kuasa hukumnya.

"Kami juga tidak menemukan pemenuhan unsur perbuatan cabul. Berdasarkan ahli pidana, fakta peristiwa tersebut belum memenuhi unsur," katanya.

Laporan resmi Nurul resmi dihentikan Polda Nusa Tenggara Barat pada 28 Januari 2019.

Kuasa hukum Baiq Nuril, Joko Jumadi mengatakan jika Nuril terpukul mendengar keputusan MA yang menolak peninjauan kembali kasusnya.

"Bagaimanapun dia sedih lah menerima putusan MA ini, tetapi keyakinan Nuril bahwa dia tidak bersalah. Meskipun MA menganggapnya bersalah dengan ditolaknya peninjauan kembali (PK)," kata Joko.

Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFE Net) Damar Juniarto mendesak Presiden Joko Widodo segera dan secara proaktif memberikan amnesti kepada Baiq Nuril Maknun.

Amnesti ini dinilai mendesak setelah Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan oleh Nuril yang sebenarnya merupakan korban pelecehan seksual.

"Sekaranglah saat yang tepat bagi Presiden Jokowi sebagai pemegang otoritas tertinggi negara untuk menghadirkan keadilan bagi seorang warganya, dengan memberikan amnesti. Langkah ini tidak harus menunggu korban untuk mengajukannya," kata Damar dalam keterangan tertulisnya, Jumat (5/7/2019).

Damar juga mendesak Dewan Perwakilan Rakyat segera memberi pertimbangan kepada Presiden mengenai perlunya amnesti sesuai Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.

Sementara itu, Presiden Joko Widodo enggan mengomentari putusan Mahkamah Agung (MA) yang menolak peninjauan kembali (PK) Baiq Nuril dalam kasus perekaman ilegal.

Namun Jokowi mengatakan sejak kasus ini mencuat, perhatiannya tidak pernah berkurang. Kendati demikian, ia menghormati putusan MA.

"Saya tidak ingin komentari apa yang sudah diputuskan mahkamah karena itu pada domain wilayahnya yudikatif," kata Jokowi di Bandara Sam Ratulangi, Manado, Sulawesi Utara, Jumat (5/7/2019).

Namun, Jokowi berjanji menggunakan kewenangannya apabila Baiq Nuril mengajukan grasi atau amnesti yang merupakan kewenangan Kepala Negara.

"Nah nanti kalau sudah masuk ke saya, di wilayah saya, akan saya gunakan kewenangan yang saya miliki. Saya akan bicarakan dulu dengan Menkumham, Jaksa Agung, Menko Polhukam, apakah amnesti atau yang lainnya," kata dia.

Semoga Baiq Nuril segera mendapatkan keadilan...

https://regional.kompas.com/read/2019/07/09/07524561/perjalanan-panjang-baiq-nuril-mencari-keadilan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke