Salin Artikel

Kisah Arifki, SiswaTunagrahita, Tak Patah Semangat Raih Cita-cita Jadi Polisi

BANDUNG, KOMPAS.com – Arifki Rahman (11 tahun) berteriak. Ia kemudian memeluk gurunya Fefi Ferita Mulfia, kemudian meloncat-loncat.

Saat itu, Arifki sangat bahagia. Baru pertama kalinya ia menikmati sejumlah wahana permainan di Trans Studio Bandung bersama teman-temannya.

“Saya ingin jadi polisi. Mau nangkap penjahat,” ujar Arifki saat Kompas.com bertanya cita-citanya di Trans Hotel Bandung, Jalan Gatot Subroto Bandung, akhir pekan lalu.

Arifki mengatakan cita-citanya dengan penuh semangat. Begitupun saat akan difoto. Arifki langsung berpose dengan gaya terbaiknya.

Sang guru, Fifi, kemudian mengobrol dengan Arifki. Ia menunjuk luka yang ada di kening anak tersebut.

Warga Cibeunying Kaler ini lalu menjawab, lukanya akibat jatuh di makam saat sedang main. Ia pun kemudian berkata beberapa waktu lalu ikut kerja dengan pamannya mengangkut barang.

Mulai sekolah

Fifi yang juga Kepala Yayasan Sekolah Anak Autis Rumah Hasanah mengatakan, pertemuannya dengan Arifki terjadi 2015 silam. Saat itu, sekolahnya tengah melakukan penjaringan siswa tidak mampu ke daerah Cikutra.

Ia kemudian bertemu Wina, bibi Arifki yang menginginkan keponakannya tersebut sekolah.

“Kisah Arifki ini menyedihkan. Ayahnya meninggalkan Arifki sejak kecil entah kemana. Ibunya yang tidak kuat ditinggal suaminya, mengalami gangguan jiwa,” ucapnya.

Sejak saat itu, Arifki diurus oleh bibi dan neneknya. Pada 2015, Arifki yang tinggal di sebuah bedeng kecil, diantar sekolah oleh bibinya.

Namun sang bibi stroke, hingga akhirnya Arifki berhenti bersekolah pada 2017. Selama satu tahun Arifki tidak sekolah. Lalu ia masuk ke sekolah negeri, tapi tidak lama.

“Arifki itu tuna grahita. IQ nya rendah, dia tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah umum. Lalu keluarganya ingin Arifki kembali sekolah di Rumah Hasanah,” tuturnya.

Tapi, kondisi bibinya yang stroke membuat Arifki tidak bisa pergi ke sekolah sendiri. Akhirnya sekolah sepakat untuk mengantar jemput siswa tersebut dengan mengirimkan ojek online atau guru yang sedang luang.

Arifki, sambung Fifi, memiliki kemampuan komunikasi yang baik. Pribadinya juga menyenangkan dan baik. Keinginan untuk bersekolah pun tinggi. Bahkan ia jago bermain jimbe.

“Dia juga berpuasa. Puasanya tamat,” ucapnya.

Cost sharing

Fifi mengatakan, saat ini sekolahnya memiliki 50 siswa. Terdiri dari 10 siswa dhuafa, 10 anak kurang mampu, dan sisanya siswa mandiri.

Sekolahnya menganut sistem cost sharing, sehingga bisa membantu siswa kaum dhuafa dan anak kurang mampu. Sebab mereka pun berhak dan layak mendapatkan pendidikan.

“Sekolah ini didirikan salah satunya karena sekolah autis di Bandung mahal. Di tempat lain biasanya Rp 1 juta, di kami Rp 500.000 per bulan. Untuk anak dhuafa ada yang bayar Rp 100.000, ada pula yang kami bantu keseluruhan seperti Arifki,” ucapnya.

Itu pula yang membuat jumlah siswanya berkembang dengan cepat dari 5 murid dari 2014 menjadi 50 murid di 2019.

Pada 2014, program sekolah awalnya based on theraphy dengan metode terapi classical di dalam kelas. Setelah itu dibuat program kemandirian. Tiga orang anak dibimbing 1 guru.

“Selain cost sharing, ada juga donasi dari beberapa pihak untuk sekolah kami,” katanya.

https://regional.kompas.com/read/2019/05/31/12381271/kisah-arifki-siswatunagrahita-tak-patah-semangat-raih-cita-cita-jadi-polisi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke