Salin Artikel

Toilet Pengompos hingga Bioplastik, Solusi Pemulihan Citarum yang Ditawarkan LIPI

BANDUNG, KOMPAS.com - Peneliti Lembaga ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah mengembangkan sejumlah teknologi yang akan membantu upaya pemulihan Sungai Citarum yang saat ini tengah gencar dilakukan pemerintah.

Beberapa teknologi tersebut dipaparkan para peneliti di kantor LIPI di Kota Bandung, Jawa Barat, Senin (25/3/2019).

Sebenarnya, banyak temuan teknologi yang tengah dikembangkan LIPI.

Namun, hanya sebagian kecil teknologi yang dipaparkan, salah satunya yakni toilet pengompos, yang sesuai untuk diterapkan di lingkungan dengan kesulitan air bersih dan minim sanitasi.

Peneliti LIPI Loka Penelitian Teknologi Bersih (LPTB) Neni Sintawardani mengaku tertarik dengan persoalan pencemaran sungai Citarum, khususnya anak Sungai Citarum yang mengalir di daerah padat pemukiman seperti halnya di Bandung Raya.

Menurut Neni, ada 8 anak sungai di Bandung Raya yang mengalir melewati pemukiman padat dan sungai-sungai ini memegang porsi 5 persen dari keseluruhan polutan domestik Sungai Citarum.

Terkait limbah yang dihasilkan dari toilet warga ini, LPTB LIPI telah mengembangkan teknologi toilet pengompos yang dapat mengurangi limbah kotoran manusia yang langsung masuk ke sungai di sekitar pemukiman dan bermuara ke Sungai Citarum.

Toilet ini tidak seperti toilet yang digunakan pada umumnya, yang harus disiram ketika selesai buang air besar (BAB) ataupun buang air kecil (BAK).

Toilet ini pun tak memerlukan saluran air, tetapi mampu mengolah kotoran manusia menjadi kompos yang bisa dimanfaatkan untuk keperluan bercocok tanam.

Toilet pengompos ini berbentuk kotak dengan lubang tempat BAB dan BAK, hanya saja di bawahnya terdapat semacam kotak yang memiliki teknologi pengolahan kotoran manusia.

Di dalam kotak tersebut terdapat sebuah penggilingan yang akan mencampurkan kotoran manusia dengan serbuk gergaji atau sekam yang bersifat selulosa yang berfungsi menangkap air dan bau kotoran manusia menjadi kompos padat ataupun cairan.

“Itu sudah disahkan oleh MUI, itu enggak najis karena proses alami, dari urinenya kita pisahkan bisa bernilai ekonomis buat masyarakat sendiri, komposnya sendiri bisa dimanfaatkan untuk menanam sayur kok,” kata Neni.

Toilet pengompos ini pernah diujicobakan di wilayah Kiaracondong, Kota Bandung selama satu tahun, mulai dari tahun 2005-2006 lalu.

Alasan lokasi uji coba sendiri karena saat itu Kiaracondong merupakan wilayah padat penduduk dengan sanitasi toilet yang dinilai minim.

Berdasarkan studi, 57 persen buangan WC di wilayah Kiaracondong langsung ke Sungai Sekewaluh dan mengalir ke Sungai Cidurian yang merupakan anak sungai Citarum.

Untuk itu, LIPI bekerja sama dengan Jepang kemudian membuat teknologi bio toilet atau toilet pengompos ini untuk mengurangi pencemaran Sungai Citarum akibat kotoran manusia.

Namun sepertinya limbah yang mengotori Sungai Citarum ini bukan hanya itu saja, limbah kotoran ternak serta industri pangan seperti tahu dan tempe juga ikut andil dalam pencemaran Citarum.

Sebagai upaya penanganan, LIPI juga berhasil menerapkan teknologi pengolahan limbah cair tahu secara anerobik dengan teknik multitahap di sentra industri tahu, sehingga limbah yang dihasilkan layak buang ke sungai dan biogas yang dihasilkan dapat dimanfaatkan oleh rumah tangga di sekitarnya.

“Teknologi ini juga bisa diaplikasikan untuk penanganan kotoran hewan,” jelasnya.

Limbah dari industri tahu ini, menurut Neni, sangat bau karena chemical oxygen demand (COD) nya yang tinggi dan mudah sekali terurai. Ketika terkena udara, akan timbul bau tertentu. Bau ini lah yang kemudian menjadi masalah tidak hanya bagi tanah tapi juga bagi masyarakat disekitarnya.

“Oleh karena itu mutlak limbah tahu ini harus diolah,” katanya.

Cara pengolahan limbah secara konvensional dinilai lebih mudah tapi juga lebih mahal karena menggunakan IPAL dan sebagainya.

Namun, dengan menggunakan teknologi pengolahan limbah tahu secara anaerobik yang dikembangkan LIPI, limbah tersebut akan diolah secara kedap udara menjadi energi methan dan air yang dibersihkan mikroba.

Hanya saja, pengolahan ini membutuhkan lahan jika produksi industri tahu berjalan selama 24 jam.

Meski begitu teknologi ini sudah diterapkan di sentra industri tahu di Giriharja, Sumedang, Jawa Barat.

“Sistemnya multi aerobik multi tahap itu adalah untuk menjaga stabilitas keseluruhan dari reaktor sehingga bisa menghasilkan CH4 dengan teratur, itu keunggulan anerobik sistem kita jadi multi tahap untuk limbah tahu,” katanya.

“Limbah tahu ini juga bisa dipadukan dengan limbah dari kotoran hewan yang kebanyakan digelontorkan diencerkan pakai air, digelontorkan, disaring dahulu, lepas dari sarinan itu encer, bisa masuk gas, padatannya bisa buat kompos,” tambahnya.

Di Bandung, teknologi ini belum bisa diterapkan karena terkendala lahan, yang dibutuhkan sekitar 200 meter persegi, sementara pemerintah sendiri belum memanfaatkan teknologi ini dengan maksimal.

“Di Sumedang sendiri (lahan) disiapkan oleh masyarakat sendiri, baru setelah masyarakat mau, Pemda baru bergerak,” katanya.

Satu unit teknologi ini bisa menangani 11 pabrik, hanya saja pengembangannya saat ini terkendala biaya.

Pihaknya mengaku selalu membuka komunikasi dengan pemerintah terkait pembiayaan dan pengembangan teknologi yang dikembangkannya saat ini.

“Kami selalu membuka komunikasi, terkait Citarum juga kami ingin berkiprah, kami sudah berkomunikasi karena sudah action plan di mana, nah kami sedang pelajari dari hasil penelitian ini bisa dimana saja,” katanya.

Di sisi lain, pencemaran sungai Citarum juga dari limbah industri, mengingat hal tersebut peneliti LIPI memiliki satu metode yang lebih mudah dan cepat untuk memonitor zat-zat yang terkandung pada zat pewarna tekstil.

Metode ini menekan biaya monitoring dan hasilnya sesuai dengan standar nasional dan internasional.

“Ada 8 peneliti monitoring yang mengembangkan metode pemantauan berbasis green analitycal chemistry (GAC) ini, termasuk di dalamnya prosedur teknis analisis residu pestisida, polutan logam berat serta sensor kimia,” ujar peneliti LPTB LIPI, Willy Cahya Nugraha.

Sedangkan untuk pengurangan limbah plastik, LIPI mengembangkan bioplastik sebagai alternatif untuk menggantikan plastik biasa.

Bioplastik tersebut berbasis pati yang mudah diurai mikroba alami dengan cepat, hal ini berpeluang menjadi solusi limbah plastik saat ini.

“Bioplastik yang dikembangkan di lab LPTB adalah berbahan singkong. Kalau kita tanam dan dijadikan plastik dan ditanam lagi. Singkong ini diambil tepungnya, di dalam pati ini ada amylose dan amylopectine, bahan ini kami jadikan plastik,” jelas peneliti LPTB LIPI Hanif Dawam Abdullah.

Namun, dalam program pemulihan Sungai Citarum saat ini, LIPI belum dilibatkan pemerintah untuk ikut andil mengembalikan sungai Citarum.

Sungai itu ditargetkan pemerintah dalam lima tahun menjadi DAS yang layak menjadi sumber air minum bagi setidaknya 28 juta orang yang bermukim di DAS sepanjang 297 kilometer tersebut.

https://regional.kompas.com/read/2019/03/25/23505391/toilet-pengompos-hingga-bioplastik-solusi-pemulihan-citarum-yang-ditawarkan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke