Salin Artikel

Grebeg Sudiro, Wujud Harmonisasi Pembauran Budaya Jawa-Tionghoa

Tahun ini, Grebeg Sudiro digelar pada Minggu (3/2/2019) pukul 14.00 WIB, dimulai dari Pasar Gede, Jebres, Kota Surakarta.

Jika ditelusuri dari namanya, Grebeg Sudiro diambil dari nama sebuah kelurahan bernama Sudiroprajan. Wilayah ini dikenal sebagai permukiman etnis Tionghoa yang bermukim di Solo sejak puluhan hingga ratusan tahun yang lalu.

Grebeg Sudiro pertama kali diadakan pada 2007 atas inisiasi beberapa tokoh. Saat itu, mereka mengeksplorasi apa saja kira-kira potensi yang bisa diangkat dari kampung kecil di tengah Kota Solo ini.

Hingga akhirnya disepakati potensi itu adalah "Kampung Pembauran".

Sudiroprajan menjadi lokasi permukiman Tionghoa sejak zaman keraton pada puluhan tahun lalu. Mereka hidup berdampingan dalam harmoni, membaur dengan masyarakat asli yang mayoritas berasal dari suku Jawa.

"Konsep tentang pembauran, kerukunan antar-etnis, harmonisasi dalam berkehidupan di masyarakat, kebinekaan itu indah, itu ingin kami angkat," kata Angga.

Kehidupan masyarakat Sudiroprajan saat ini memang sudah begitu menyatu. Golongan-golongan masyarakat berbeda tidak lagi mempertentangkan perbedaan yang mereka miliki.

"Ketika mendekati Imlek seperti sekarang ini, kalau mau masuk kampung Sudiroprajan itu warga pada pasang lampion, pasang dengan sendirinya," ucap Angga.

"Mereka menghias depan rumahnya dengan lampion, karena ini sudah penerimaan budaya, tidak masalah. Orang Jawa mau pasang lampion ya monggo enggak masalah," kata dia.

Salah satu bentuk penerimaan antar-budaya yang dapat dilihat secara fisik dalam gelaran Grebeg Sudiro ini adalah adanya janur yang menjulang di antara semaraknya lampion.

Keduanya terpasang berdampingan, di beberapa suadut kawasan Pasar Gede. Terlihat kontras, namun sarat makna.

Peserta yang mau datang dibuka secara terbuka untuk umum. Siapa saja boleh menjadi bagian dari Grebeg yang sudah identik sebagai milik 'wong Solo' ini. Akan tetapi, menurut Angga, warga Sudiroprajan tetap yang diutamakan karena pesan dan konsep pembauran yang ingin dikemukakan.

"Semakin banyak elemen yang terlibat, semakin senang, semakin baik," ujar Angga.

Peserta Grebeg Sudiro siang tadi terdiri dari 54 kelompok dengan total peserta kurang lebih 1.500 orang, terdiri dari etnis lokal juga Tionghoa.

Namun dari pantauan Kompas.com,sebagian besar peserta kirab memang berasal dari etnis Jawa, hanya beberapa kelompok yang merepresentasikan etnis Tionghoa. Hal ini tentu karena jumlah etnis Jawa lebih banyak di Solo.

Namun, masyarakat yang bukan berasal dari etnis Tionghoa terlihat sangat antusias menyemarakkan rangkaian Imlek yang tidak mereka rayakan.

"Seperti kepanitiaan sendiri, ini kepanitiaan dari masyarakat selama 12 tahun event memang ini event masyarakat, dan itu pun campur (panitia dari etnis setempat dan Tionghoa)," ucap Angga.

https://regional.kompas.com/read/2019/02/03/20195551/grebeg-sudiro-wujud-harmonisasi-pembauran-budaya-jawa-tionghoa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke