Salin Artikel

Muhibah Pinisi Bakti Nusa, Menautkan Kepulauan Nusantara

GORONTALO, KOMPAS.com – “Kami sempat dihantam gelombang setinggi 6 meter selama 4 hari saat akan menuju Wakatobi, syahbandar tidak mengizinkan untuk meneruskan perjalanan,” kata Irdham, Nakhoda Kapal Pinisi Bakti Nusa, saat sandar di Pelabuhan Gorontalo, Selasa (15/1/2019).

Akibat gelombang tinggi di perairan yang membahayakan pelayaran, mereka memutar haluan menuju Raha.

Irdham yang bertanggung jawab atas keselamatan misi ini memilih untuk mencari rute yang aman, karena perjalanan yang dilalui masih panjang.

Kapal ini akan menyinggahi 74 titik, saat ini masih berada di Kota Gorontalo sebagai persinggahan ke-11.

Kapal yang diawaki 6 Anak Buah kapal (ABK) dan 10 relawan ini membawa misi melakukan edukasi lingkungan, pengenalan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan kampanye penyelamatan terumbu karang.

Sejak tanggal 12, rombongan ekspedisi sudah tiba di Desa Torosiaje, Desa Suku Bajau yang berada di tengah laut. Mereka disambut secara adat yang meriah, melibatkan warga seluruh kampung.

“Kami mendengar ada 2 orangtua Suku Bajau yang menangis, mereka terharu teringat masa lalu yang sering melihat kapal pinisi di laut,” kata Abdul Latief, awak kapal yang bertugas sebagai dokumentator.

Kapal Pinisi Bakti Nusa berada di Pelabuhan Gorontalo yang membawa peserta joysailing di taman laut Biluhu Timur.

Saat sandar di dermaga, mereka melakukan open ship dengan mengundang masyarakat untuk mengetahui isi kapal pinisi ini.

Ada yang mengatakan, nama pinisi merujuk pada nama layar. Kapal ini memiliki dua tiang layar dan tujuh buah layar, 3 di ujung depan, 2 di depan, 2 di belakang.

“Kapal Pinisi Bakti Nusa memiliki panjang 28 m dan lebar 6 m ini dibuat selama 10 bulan oleh Yayasan Makassar Skalia di Pantai Benteng Rotterdam dengan menghabiskan dana Rp 2,7 miliar,” ujar Safril Ahmadi, Direktur Yayasan Makassar Skalia.

Kapal ini memiliki 2 sumber penggerak, yakni mesin dan layar. Pada siang hari perjalanan memanfaatkan tenaga angin, pada malam menggunakan mesin.

Ia memaparkan, penggunaan layar diakui membutuhkan peran besar para awak. Setiap layar harus dijaga oleh seorang ABK, ini membutuhkan energi yang besar.

Pada masa lalu, kapal pinisi merajai laut-laut di Nusanara. Pada masa kerajaan, kapal ini disebut palari, ini bentuk awal pinisi yang memiliki badan lebih ramping, lunas melengkung, dan ukurannya lebih kecil.

“Palari miliki kecepatan tinggi, biasanya digunakan dalam armada perang,” tutur Safril Ahmadi.

Model pinisi sekarang merupakan jenis Lamba atau Lambo yang digunakan untuk armada dagang, membawa hasil bumi, dan barang dagang lain dari pulau ke pulau di Nusantara.

Karena fungsinya sebagai armada yang sering mengunjungi banyak pulau, muhibah pinisi ini juga meneguhkan perannya sebagai pemersatu pulau-pulau di nusantara.

Safril Ahmadi mengatakan, kapal pinisi semakin terkenal saat ada ekspedisi pelayaran Jakarta-Vancouver, Kanada.

Kesuksesan ini tidak hanya melambungkan nama Indonesia di kancah internasional, namun juga memberi dampak pada perajin kapal yang banyak mendapat pesanan dari warga asing.

Ketangguhan pinisi mengarungi samudera sangat membanggakan, ini menjadi bukti tingginya teknologi pembuatan kapal dan ketangguhan pelaut Indonesia.

“Ekspedisi ini juga mengenalkan bagaimana tradisi cara berlayar, membaca bintang, memahami arus angin, dan mengerti arus laut,” ujar Safril Ahmadi.

Perjalanan panjang pelayaran ini mengajarkan bagaimana peran kapal pinisi menyatukan pulau-pulau di Nusantara dalam pelayaran perdagangannya. Muhibah ini juga akan memetakan potensi kelautan sepanjang jalur yang dilalui.

https://regional.kompas.com/read/2019/01/16/10330641/muhibah-pinisi-bakti-nusa-menautkan-kepulauan-nusantara

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke