Salin Artikel

Kisah Hamzah, 8 Tahun Kayuh Becak Pakai Topeng hingga Berhasil Jadi Sarjana

MAJENE,KOMPAS.com – Kedatangan Muhammad Hamzah Amirullah, alumnus Universitas Terbuka (UT) di Gedung Lembaga Pendidikan Majene Sulawesi Barat menjadi pusat perhatian sekitar 300 keluarga wisudawan lainnya, Minggu (18/11/2018) lalu.

Ia menarik perhatian ratusan wisudawan bukan karena ia menumpang mobil mewah ke lokasi wisuda, tetapi karena ia membawa becak kebanggaan yang setia menemaninya selama bertahun-tahun hingga lulus kuliah.

Putra sulung dari 7 bersaudara pasangan Usman-Nursamiah ini dengan bangga mengayuh becak sejauh 6 kilometer dari rumahnya di dusun Tanjung Batu, Kelurahan Rangas, Kecamatan Banggae Timur, Majene ke lokasi wisuda sambil membawa ibunda tercintanya Nursamiah.

Duduk di samping ibunya, Hamzah membawa setumpuk buku bacaan ke tempat wisuda. Meski ia bangga dan bersuka cita karena telah sukses menjadi sarjana dengan biaya dan tetesan keringatnya sendiri, ia tak pernah lupa menjadi inspirasi bagi lingkungan sekitarnya.

Buku-buku yang ia bawa ke tempat wisuda ia hamparkan agar bisa memancing minat warga di lokasi untuk membaca buku apa saja.

“Dulu saya mengayuh becak mencari rezeki dari lorong ke lorong memakai topeng. Sekarang saya tak malu lagi. Saya harus bangga membawa ibu saya dengan becak saya sendiri,” tutur Hamzah kepada Kompas.com, Rabu (21/11/2018).

Hamzah bercerita panjang kisah perjalanan hidupnya bersekolah hingga menjadi sarjana manajemen dengan nilai IPK 3,49 yang cukup memuaskan.

Sejak SMP, ia sudah mengayuh becak dari lorong ke lorong dan sudut kota untuk mencari rezeki dan biaya sekolahnya. Mengayuh becak ditekuni Hamzah hingga kuliah di semester 4.

Ada yang berbeda dari tukang becak pada umumnya. Hamzah memakai topeng setiap kali keluar jalan mengayuh becak sambil mencari penumpang.

Selain agar kulitnya tak terbakar matahari, Hamzah tak ingin diolok-olok rekan sekolahnya atau warga dengan profesinya sebagai tukang becak.


Hamzah bercerita, banyak pengalaman menarik menjadi tukang becak selama hampir 8 tahun. Ia pernah mengantar gurunya tanpa diketahui kalau yang sedang membawa becak adalah siswanya sendiri.

Merasa harus membalas budi guru yang telah berjasa mendidiknya, Hamzah mengaku kerap menolak jasanya dibayar oleh tetangga kampung atau guru yang tak mengetahui identitasnya itu.

Menurut Hamzah, makin ia menolak jasanya dibayar, makin banyak warga dan guru-guru termasuk temannya yang penasaran ingin tahu siapa dirinya yang bertopeng dengan tutur sapa yang santun.

“Suatu waktu saya dipaksa buka topeng di depan guru saya yang penasaran, karena setiap kali naik becak saya menolak menerima bayaran darinya. Saya merasa dia adalah tokoh yang berjasa mendidik saya di sekolah,” tutur Hamzah menceritakan pengalamannya menyamar jadi tukang becak menggunakan topeng.

Pengagum tentara ini pernah bercita-cita menjadi prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun cita-citanya kandas lantaran tak mendapat restu orang tua, terutama ibunda tercinta, karena alasan ia tak ingin berpisah jauh dari Hamzah.

Padahal, obsesi menjadi tentara dengan kemampuan yang hebat merupakan impian Hamzah sejak kecil.

Kala duduk di bangku SD, keinginannya menjadi tentara makin kuat terutama saat menyaksikan atraksi kemampuan personil TNI yang hebat menaklukkan medan tempur atau membebaskan sandera dari para teroris.

Lulus dari Sekolah Menengah Kejuruan Negeri (SMKN) 2 Majene, Hamzah mengurungkan niatnya mendaftar TNI.

Semula, pria yang dikenal ulet dan pekerja keras ini tak berpikir untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah.

Alasannya, selain karena hendak mencari kerja untuk menopang ekonomi keluarga juga karena ia ingin mandiri dan tak ingin jadi beban keluarga.

Hamzah mengaku mendapat ilham dari gurunya Muhammad Takdir Alwi dan Idham yang tak pernah putus komunikasi, meski sudah lulus SMK.


Gagal jadi TNI tak membuat Hamzah kecewa, apalagi putus asa. Tahun 2014, ia mulai mengikuti nasihat gurunya agar ia melajutkan kuliah saja. Hamzah lalu mendaftar di Sekolah Tinggi Kelautan dan Perikanan (STITEK) Balik Diwa Makassar secara diam-diam.

Hamzah bangga karena menerima panggilan melalui jalur beasiswa Bidik Misi.

Namun, impian Hamzah menjadi sarjana di Makassar lagi-lagi kandas lantaran orang tua tercinta tak merestuinya.

"Waktu itu wakil rektornya sudah pastikan saya lulus Bidik Misi. Tapi orangtua lagi-lagi tak merestuai. Intinya ia tak ingin saya jauh-jauh darinya,” jelas tokoh penggerak literasi Majene ini.

Hamzah lalu mendaftar di Unit Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) UT Majene.

Baru beberapa bulan menempuh kuliah, sang ayah tercinta, Usman, yang menjadi tokoh panutan dalam keluarga meninggal dunia.

Kehilangan orang tercita yang menjadi pembimbing dalam keluarga sempat membuat Hamzah frustasi dan nyaris berhenti kuliah.

Namun, Hamzah mengaku beruntung banyak orang yang selalu memberikan semangat dan nasihat untuknya.

“Saya lalu menyadari sikap saya ini keliru. Kematian orang tua justru saya jadikan pelecut semangat untuk lebih bersemenangat kuliah meski kehilangan orang tercinta. Di situlah mungkin hikmahnya,” jelas Hamzah.

Sejak semester pertengahan hingga usai kuliah, Hamzah mulai jarang mengayuh becak lagi. Meski tak meninggalkan profesinya sebagai tukang becak, Hamzah memilih menjadi buruh bangunan atau tukang cat keliling.

Berteman dengan banyak mantan teman sekolahnya yang kini jadi pemborong membuat Hamzah tak kesulitan mendapatkan order atau pekerjaan untuk menopang ekonomi keluarga kecilnya hingga membiayai kuliahnya.

Seperti saat mengayuh becak, saat menjadi buruh cat bangunan gedung sekolah atau rumah pribadi, Hamzah juga memakai topeng saat bekerja. Alasannya, selain untuk melindungi diri dari panas matahari juga agar ia tak jadi bahan ledekan teman-teman kuliahnya atau mantan teman sekolahnya saat bekerja.

Dengan upah Rp 75 ribu per hari sebagai buruh cat bangunan, Hamzah mengaku bisa membiayai kuliahnya hingga menjadi sarjana ilmu manajemen di UT tempat ia mendaftar.

Ditanya soal rencananya setelah meraih predikat sarjana, Hamzah mengaku ingin fokus menjadi penggerak literasi agar kegiatan sosialnya itu bisa memberi manfaat kepada orang banyak.


Pemuda kelahiran 2 April 1995 itu juga bercita-cita menjadi pelopor dan penggerak untuk melestarikan bahasa dan budaya Mandar. Ia menilai bahasa dan budaya Mandar semakin tergerus.

Hamzah mengaku akan ikut mencerdaskan masyarakat Majene dengan gerakan becak pustaka yang sudah ia rintis sebelum ia jadi sarjana. Hamzah mengaku akan fokus menjadi penggerak literasi guna menebar spirit literasi kepada generasi muda.

"Menjadi tokoh penggerak literasi itu sebenarnya sudah saya gagas sejak lama. Insya Allah setelah jadi sarjana saya akan fokus mengurus ini,"tutur Hamzah.

Ia berencana menyulap rumahnya di Tanjung Batu menjadi lapak baca. Becak yang selama ini ia kayuh akan disulap Becak Mandar Pustaka yang sudah dirintis bersama sejumlah rekanya yang terlibat sebagai penggiat literasi.

“Becak ini justru akan saya jadikan “Lapak Becak Mandar pustaka” yang akan menebar virus literasi kemana saja,” jelas Hamzah.

Dia menilai, gerakan literasi yang ia sudah tekuni sejak lama saat masih kuliah sangat bemanfaat bagi masyarakat, terutama generasi muda agar melek membaca. Gerakan sosial itu juga dinilai Hamzah sangat relevan dengan status Majene sebagai kota pusat pendidikan di Sulawesi Barat.

“Saya ingin menjadi bagian terkecil yang ikut berkontribusi terhadap kemajuan pendidikan di Majene atau Sulbar dengan gerakan becak pustaka milik saya,”papar Hamzah. 

https://regional.kompas.com/read/2018/11/21/15213101/kisah-hamzah-8-tahun-kayuh-becak-pakai-topeng-hingga-berhasil-jadi-sarjana

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke