Salin Artikel

Cerita Eko, Barista Disabilitas yang Berjuang Melawan Keterbatasan

Salah satunya Eko Sugeng (34) tinggal di Sleman, Yogyakarta, yang menjadi barista atau pembuat dan penyaji kopi meski kedua tangannya diamputasi.

Ditemui di sebuah stan dalam acara temu inklusi #3 di Lapangan Desa Plembutan, Kecamatan Playen, Gunungkidul, Pria Asal Pekalongan, Jawa Tengah, tampak sabar melayani antrean pembeli kopi.

Meski dengan keterbatasan dirinya cukup lincah menimbang biji kopi yang sudah di-roasting dalam timbangan digital yang diatasnya ada sebuah cangkir kecil. Menggunakan sendok dia mengambil biji kopi kering.

Setelah ditimbang, dia memasukkan ke dalam gilingan, karena keterbatasan dirinya menutup setelah gilingan menyala, sehingga tampak beberapa biji kopi keluar, namun tak banyak. "Satu cup-nya, 15 gram," katanya kepada Kompas.com, Selasa (23/10/2018)

Setelah selesai, kopi giling dimasukkan ke kertas penyaring, disiram menggunakan air panas. Segelas kecil kopi lalu diambil oleh temannya dan disajikan kepada pemesan.

Sesekali Eko tampak meringis menahan pegal dipundaknya, seorang temannya yang juga barista disabilitas, Yuli. tampak membantu memijit pundaknya.

"Yang sulit itu membuat latte karena harus menggunakan alat-alat, sampai sekarang masih belajar,"ujarnya

"Lebih ke alat, latte ada alatnya khusus. DI Yakkum ada alatnya yang sudah dimodifikasi (sehingga memudahkan)," ucapnya. 

Eko menceritakan awal mula kedua tangannya harus diamputasi. Dia mengatakan, sekitar tahun 2002, dirinya membantu membenahi antena milik suadaranya, dan singkat cerita ada aliran listrik yang mengenainya.

"Waktu kecelakaan usia saya masih 18 tahunan," katanya

Saat kedua tangannya diamputasi, dirinya harus memulai belajar hidup mandiri dari awal lagi. Mulai dari menggunakan pakaian hingga menulis.

Akhirnya, karena inilah dirinya tinggal di asrama milik Yakkum untuk berlatih mandiri. Saat tinggal di Yakkum, dirinya suka minum kopi di sebuah kedai kopi yakni Cafe Cupable.

"Karena saya hampir setiap hari minum kopi di sana (Cafe Cupable) oleh owner-nya ditanya kenapa tidak menjadi penyaji kopi sendiri. Baru setahun terakhir saya berlatih membuat kopi,"ucapnya

Gayung bersambut, salah satu NGO dari Asian Foundation akhirnya memberikan pelatihan kepada dirinya dan 7 orang lainnya untuk belajar mengenal seluk beluk kopi.

Selain itu, dirinya juga diajak untuk bertukar pengalaman dengan para penyaji kopi yang terkenal di Yogyakarta. Para barista dari Yogyakarta memberikan pengalaman mengenal kopi, hingga masalah pemasaran.

"Kami belajar banyak, bahkan kami live-in dengan petani di Suroloyo, Kulon Progo. Kami belajar ngopeni (memelihara) kopi,"katanya

Saat ini dirinya bekerja di Cafe Cuppable yang berada tak jauh dari kantor Yakkum di Jalan Kaliurang, Sleman.

Dirinya tinggal di kos bersama istri dan seorang anaknya yang masih berusia empat bulan. "Hasilnya lumayan untuk keluarga, istri saya juga bekerja jual beli online," ucapnya. 

Butuh pengakuan dan sertifikat

Eko mengaku mempunyai mimpi bersama 7 orang temannya Barista Inklusi yang mendapatkan pelatihan pertama membuka kedai kopi. Mereka membentuk perkumpulan dengan nama Setara.

"Mimpinya kedepan kami punya kedai kopi sendiri, dan kami kelola sendiri," ucapnya. 

Meski dengan segala keterbatasan yang ada, dirinya optimis bisa bersaing dengan Barista pada umumnya.

"Kita optimis bisa, tetapi masih ada satu kendala. Yakni sertifikasi barista kami belum punya. Kami ingin pengakuan secara tertulis, karena untuk bekerja kami butuh itu," ucapnya. 

Eko berharap, teman-teman disabilitas yang lain untuk tidak berkecil hati. Dirinya yang masih berusaha membangun usaha, mengajak temannya untuk berusaha keluar dari keterbatasan.

"Bekerja keras sesuai dengan bidangnya masing-masing pasti ada jalan,"ujarnya

Pemerintah terbatas anggaran

Wakil Gubernur DIY Paku Alam ke X mengatakan, pemerintah DIY terus berupaya memberikan ruang bagi disabilitas.

Salah satunya memberikan pelatihan yang dilaksanakan oleh masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Meski diakuinya anggaran terbatas.

"Ya memang di Jogja kami juga mengupayakan, ya ada kegiatan pemerintah misalnya pelatihan keterampihan OPD laksanakan. Meskipun dalam anggaran yang terbatas, tetapi kami anggarkan,"katanya

"Di kantor kami kepatihan dan kantor lainnya ada juga fasilitas untuk teman-teman difabel," ucapnya

Pemerintah daerah, menurut dia terus berupaya mewujudkan konvensi PBB tentang disabilitas yang ditandatangi tanggal 30 Maret 2007.

Pengakuan ini secara tidak langsung menyatakan persoalan hambatan berpartisipasi harus menjadi tanggung jawab masyarakat dan negara. Harapannya tidak ada lagi diskiriminasi.

"Secara bertahap, karena anggaran terbatas. Arahnya kesana (tidak ada diskriminasi)," katanya. 

https://regional.kompas.com/read/2018/10/23/14013491/cerita-eko-barista-disabilitas-yang-berjuang-melawan-keterbatasan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke