Salin Artikel

Cerita Tia yang Tak Peduli Tak Digaji agar Anak-anak Bisa Membaca (2)

Suara itu menggema begitu memasuki pintu Rumoh Baca Hasan-Savvaz di Desa Jambo Timu, Kecamatan Blang Mangat, Kota Lhokseumawe, Aceh, Sabtu (18/8/2018) lalu.

Salam yang disampaikan Agustia Rahmi itu disambut dengan teriakan "Walaikumsalam" dari anak-anak pengunjung rumah baca itu.

Meski begitu, Tia tak mengeluh. Dia kokoh bersama relawannya terus berbakti dan berbagi untuk anak nelayan dan  buruh tani desa itu.

“Sampai kapan pun kami berusaha mengaktifkan rumah baca ini,” pungkasnya.

Gadis berkacamata dengan bingkai lumayan besar itu langsung mengajak anak-anak berdiskusi, menanyakan mereka sudah makan, sudah mandi dan lain sebagainya.

Sejurus kemudian, dia pula mengajak anak-anak membuat mainan dari kertas origami, masing-masing anak diberikan selembar kertas.

Hampir setengah jam dara asal Desa Blang Pulo, Kecamatan Muara Dua, Kota Lhokseumawe, itu memandu anak-anak membuat hewan dari kertas origami.

“Saya diajak Kak Zainah, pendiri rumah baca ini beberapa tahun lalu. Saya ini suka buku, suka anak-anak, ya paslah. Ini ladang pengabdian,” ungkap wanita dengan kulit sawo matang ini.

Soal gaji? Agustia tertawa. Dia tak pernah mendapatkan gaji.

“Namanya juga relawan,” katanya.

Perjalanan Tia dari rumahnya ke rumah baca terpaut sekitar 30 menit mengendarai sepeda motor. Apalagi, dia harus menyisir kawasan tambak menuju lokasi.

Bagi Tia, pengabdian terhadap anak-anak suatu keniscayaan. Mereka, katanya minimal diajarkan etika dan tanggung jawab.

“Dulu di awal saya kemari, mereka membaca buku, menggambar dan lainnya setelah itu langsung pergi. Sekarang mereka bertanggung jawab mengambil buku dan meletakannya kembali ke rak,” katanya.

Agustia ingin anak-anak terbiasa dengan tanggung jawab dan etika. Menurut dia, beretika penting agar tak saling menghujat dan menghargai perbedaan antar sesama. Karena itu pula, sampai hari ini dia masih bertahan menjadi relawan di rumah baca itu.

Akhirnya bisa membaca

Dia satu di antara tujuh relawan di rumah baca itu. Semuanya tanpa gaji, datang sukarela dan berbagi pengetahuan.

“Apalah pengetahuan saya ini, sedikit sekali. Itulah yang saya bagi buat anak-anak,” katanya.

Lalu, apa respons anak-anak terhadap proses belajar di rumah baca itu?

Riski Maulana, murid kelas satu SD Negeri 1 Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara, mengaku senang bisa mengikuti kelas.

“Leuh woe beut, lon jak keunoe. Ramee ngen, jeut maen sira baca buku (Sepulang mengaji saya ke mari, ramai kawan-kawan dan bisa baca buku,” ungkap Riski dalam bahasa lokal Aceh.

Temannya, Muhammad Riyan Mirza, murid taman kanak-kanak desa itu mengaku awalnya sama sekali tidak bisa membaca. Rumah baca itu pula yang mengajarkan dia membaca.

“Sudah bisa baca sedikit-sedikit,” ungkapnya.

Matahari semakin menanjak tinggi. Para murid diberi segelas air mineral. Setelah itu mereka pulang ke rumah masing-masing.

Di luar gedung, Agustia berteriak ”singeuh jak lom beuh (besok datang lagi ya)".

“Iya Kak,” jawab anak-anak serempak.

Besok, lusa dan seterusnya, pintu rumah baca itu terus terbuka untuk anak-anak nelayan dan buruh tani di kecamatan itu, siap menyambut mereka. Begitu pula senyum di wajah Agustia....

https://regional.kompas.com/read/2018/09/25/21053641/cerita-tia-yang-tak-peduli-tak-digaji-agar-anak-anak-bisa-membaca-2

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke