Salin Artikel

Kisah Korban Gempa Banjarnegara, Trauma hingga Tak Mau Injak Tanah

BANJARNEGARA, KOMPAS.com - Gempa tektonik yang mengguncang lima desa di Kecamatan Kalibening, Banjarnegara, Jawa Tengah beberapa waktu lalu masih menyimpan luka.

Sejumlah pengungsi mulai bangkit dan pulang ke rumah untuk membangun lagi kehidupan yang sempat terjeda. Namun tidak sedikit dari para korban yang trauma.

Salah satunya Assyifa (7), warga Desa Kertosari, Kecamatan Kalibening. Desa Kertosari merupakan wilayah yang paling parah terdampak gempa karena dekat dengan episenter.

Saat ditemui baru-baru ini, bocah berusia tujuh tahun itu terlihat masih menyimpan trauma mendalam atas musibah yang meluluh lantakan rumahnya.

“Assyifa masih sering nangis, waktu gempa dia tidak bisa lari terus ketimpa tembok sampai kepalanya bocor,” kata ibundanya, Fitri (26).

Pengalaman pahit itu membuat Assyifa masih takut menginjak tanah. Hanya saat tidur, putri sulung dari dua bersaudara ini bisa lepas dari punggung orangtuanya.

“Ga mau turun, trauma dia, bahkan kalau buang air saja di punggung saya,” ujarnya.

Fitri berharap, putri sulungnya dapat segera mendapat terapi untuk menghilangkan trauma dari Kementerian Sosial.

Pasalnya, selama ini kegiatan trauma healing hanya terpusat di Posko Induk Desa Sidakangen yang jaraknya hampir 10 kilometer dari tempatnya mengungsi.

“Karena saya punya bayi, ditambah Assyifa tidak mau di tenda, jadi saya ngungsi ke rumah saudara di Desa Karanganyar,” tutur Fitri.

Ketua Komisi Perlingungan Anak Indonesia (KPAI), Seto Mulyadi mengatakan, dampak trauma kepada anak-anak korban bencana alam bisa muncul kapan saja.

Terkadang, gejala trauma bisa saat itu juga muncul. Namun tidak sedikit yang gejalanya muncul berbulan-bulan setelah itu.

“Sekarang masih banyak hiburan, tapi nanti kalau status tanggap darurat sudah berakhir, mereka kembali ke rumah, bisa saja dampaknya baru terlihat. Apalagi yang kehilangan sahabat, keluarganya,” jelasnya.

Untuk itu, Kementerian Sosial telah membentuk tim Layanan Dukungan Psikososial (LDP) dan menginisiasi dibangunnya trauma center bernama “Pondok Ceria Anak” di Kalibening.

“Kami akan terus mendampingi, tim ini bekerjasama dengan BNPB, Tagana, dan relawan," katanya.

"Kegiatannya macam-macam yang intinya untuk menghibur anak-anak korban gempa, mempelajari kondisi kejiwaan mereka khususnya terkait dampak bencana alam ini,” pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2018/05/04/20051351/kisah-korban-gempa-banjarnegara-trauma-hingga-tak-mau-injak-tanah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke