Salin Artikel

Lumbung Padi Dayak Lamandau yang Kosong setelah Larangan Bakar Lahan

Akses yang sebelumnya hanya melalui sungai, kini sebagian besar sudah ditembus jalan darat. Tapi, ada satu yang tak berganti saat rumah-rumah dan jalan berubah. Itu adalah lumbung padi.

Komunitas Dayak di Lamandau meyebutnya jurung atau bajurung. Di tiap pekarangan rumah pasti mempunyai jurung. Bahkan beberapa rumah, memiliki lebih dari satu jurung.

Jurung merupakan bangunan bertongkat atau panggung dengan ketinggian dua meter. Jurung yang paling kecil berkaki enam. Empat di tiap sudut, dan dua di tengah, di antara dua sisi panjang bangunan.

Di tiap tiang paling atas sebelum lantai dasar jurung terdapat papan bundar seperti payung. Fungsinya, untuk menghalau tikus yang kerap menyerbu penyimpanan padi.

Tak ada cerita lumbung padi Dayak dijamah tikus. Teknologi tepat guna ala Dayak ini memang efektif mencegah binatang liar itu.

Dengan begitu jurung tak hanya menjadi simbol ketahanan pangan masyarakat, tapi juga kemakmuran. Mungkin karena itu pula, salah satu perusahaan daerah di Lamandau diberi nama Bajurung Raya.

Namun, jurung-jurung itu kini hanya mantap terlihat dari fisiknya saja. Fungsinya sebagai lumbung padi mulai terganggu.

Bukan karena jurungnya yang bermasalah, tapi karena produksi padi warga Dayak merosot tajam, sejak larangan pembakaran lahan diberlakukan secara ketat hampir dua tahun terakhir.

Sebuah jurung milik anak mantir (kepala) adat di Desa Lopus, yang Kompas.com kunjungi pada Senin (21/11/2017) lalu tampak lama tak disentuh. Sang pemilik kini malah pergi bekerja pada perusahaan bangunan.

Kepala Desa Lopus, Yohanes Bidi Dermawan pun mengonfirmasi sejak larangan bakar lahan, lumbung padi di desanya merosot tajam.

Padahal biasanya per keluarga di desanya hanya mampu memproduksi lebih satu ton beras untuk dikonsumsi sendiri. "Dengan adanya larangan membakar ini, sebenarnya orang Dayak di sini tidak terima," ujar Bidi

Ia pun menolak anggapan bahwa pola ladang dengan bakar menjadi penyebab bencana asap. "Jadi kalau membakar itu enggak sampai lima jam. Paling setengah jam, satu jam sudah selesai. Dan itu kita jaga bersama. Dibatasi. Sebelum bakar itu, yang dilingkar luar ladang kita bersihkan supaya api enggak merambat keluar," jelasnya.

Bidi mengaku, sejak adanya larangan itu hanya menebas tumbuhan liar, dan mengupasnya dari permukaan tanah untuk bisa menugal. Namun, hasil panennya, kata dia, jauh dari yang biasa mereka peroleh.

Akibat larangan bakar lahan membuat petani serba salah. Apalagi mereka punya pengalaman menakutkan, saat membakar lahan, tiba-tiba datang pesawat pengebom air untuk memadamkan api.

"Jadi kami ini ngolit-ngolit (curi-curi) untuk berladang," tutur One, ibu-ibu yang biasa berladang di Tapinbini, Kecamatan Lamandau.

https://regional.kompas.com/read/2017/12/02/19571791/lumbung-padi-dayak-lamandau-yang-kosong-setelah-larangan-bakar-lahan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke