Salin Artikel

Anak Pengungsi Gunung Agung Tetap Bersekolah Meski Tanpa Seragam

Walaupun tidak menggunakan seragam, David tetap mengikuti kegiatan belajar dan mengajar seperti siswa pada umumnya. Selain David, ada 53 siswa pengungsi Gunung Agung yang ditampung di sekolah tersebut.

Kepada Kompas.com, Kamis (28/9/2017), David mengaku sudah tiga hari pindah sekolah di MI Karangasem karena mengikuti keluarganya yang mengungsi. Dia tidak menggunakan seragam sekolah karena keluarganya tidak sempat membawa banyak barang saat mengungsi. Sebelumnya, David bersekolah di SD 12.

"Saya sama bapak dan ibu ngungsi tengah malam naik motor. Jadi banyak barang yang ditinggal di rumah. Seragam juga nggak dibawa," jelas bocah laki-laki yang bercita-cita menjadi polisi tersebut.

Hal senada juga diceritakan Fika Silmi Sholatina (10). Saat mengungsi, bapak dan ibunya terlihat panik sehingga tidak banyak barang yang dibawa. Dia berpindah tempat pengungsian dua kali dan sekarang tinggal di Pos KKN Kampung Gelgel Klungkung Bali.

"Waktu itu hampir jam 11 malam. Saya sudah mau tidur terus katanya Gunung Agung mau meletus. Saat keluar mau ke pengungsian, jalanan sepi kayak kota zombie," kata Fika.

Dia sendiri merupakan siswi MI Karangasem, dan seperti David sepupunya, dia baru tiga hari bersekolah di tempat baru.

"Saya sempat bawa tiga seragam dan alhamdulilah bisa sekolah di sini," jelas Fika.

Dia mengaku ingin segera pulang ke rumahnya, karena kangen dengan teman-teman sekolahnya. Selain itu dia tidak punya teman bermain dan merasa bosan hanya tinggal di tempat pengungsian.

"Sama ibu nggak boleh pergi jauh-jauh mainnya. Nggak ada temannya juga. Untung sekolah dari pagi sampai siang jadi ada teman baru," jelas bocah perempuan yang bercita-cita sebagai guru tersebut.

Fika bercerita, sebelum tinggal di pengungsian, dia sering melihat ke arah Gunung Agung, apalagi ketika ibunya menceritakan bahwa Gunung Agung akan meletus.

"Di pengungsian, saya nggak bisa lihat langsung Gunung Agung. Padahal ingin tahu. Tapi kata ibu bahaya," jelasnya.

Sementara itu, Nadira, kepala MI Klungkung kepada Kompas.com menjelaskan, sudah hampir sepekan terakhir menerima siswa pengungsi. Hal tersebut dilakukan agar anak-anak mendapatkan hak pendidikan walaupun tinggal di pengungsian.

"Sejak pertama dibuka tempat pengungsian, semua guru di wilayah sini mendata pengungsi yang masih sekolah dan untuk mereka yang sebelumnya sekolah di MI diarahkan ke sini," jelas Nadira.

Walaupun sekolah muslim, nadira menegaskan bahwa sekolah yang dipimpinnya menerima siswa dari semua golongan. Ke-53 siswa pengungsi tersebut langsung bergabung sesuai dengan kelasnya. Untuk kursi dan bangku disediakan, namun untuk meja digabung menjadi satu.

"Berbicara kemanusian dan pendidikan tidak perlu memandang agama," ungkapnya.

Bukan hanya menerima siswa pengungsi, sekolah tersebut juga menerima empat guru pengungsi yang ikut diperbantukan untuk mengajar.

Sahidin, kepala Desa Kampung Gelgel mengatakan, ada 383 jiwa yang mengungsi di wilayahnya dan tersebar di tiga titik, yaitu gedung serbaguna Masjid, Pondok Pesantren Nurul Huda dan kantor Bumdes. Mereka memilih tinggal di Kampung Gelgel karena alasan kekerabatan.

"Banyak yang punya kerabat di sini. Dan, kita gotong-royong untuk buat mereka nyaman dan aman," jelasnya.

Walaupun seluruh warga Kampung Gelgel adalah muslim, mereka tidak membeda-bedakan agama dan golongan.

"Ini kemanusian. Tidak perlu melihat perbedaan," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2017/09/28/18483721/anak-pengungsi-gunung-agung-tetap-bersekolah-meski-tanpa-seragam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke