Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Warga TTU Gelar Ritual Adat di Lahan Sengketa RI-Timor Leste

Kompas.com - 06/09/2016, 08:22 WIB
Sigiranus Marutho Bere

Penulis

KEFAMENANU, KOMPAS.com - Puluhan warga Desa Manusasi, Kecamatan Miomafo Barat, Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT), yang berbatasan langsung dengan Distrik Oekusi Timur Leste, mendatangi lahan yang disengketakan oleh kedua negara.

Warga mendatangi puncak bukit Bijaelsunan dan menggelar ritual adat bersama utusan dari Kementerian Dalam Negeri Ahmad Baihaki, utusan dari Kementerian Luar Negeri Anat Winakno, Kepala Badan Pengelola Perbatasan Provinsi NTT Paul Manehat, sejumlah dosen peneliti dari Jember dan Kupang, serta pejabat dari kabupaten, kecamatan dan juga Raja Liurai Wehali Malaka Dominikus Kloit Tey Seran.

Saat ritual adat itu berlangsung, Senin (5/9/2016), mereka dikawal oleh TNI Satuan Tugas Pengamanan Perbatasan (Satgas Pamtas) Sektor Timur Yonif Raider 321/Kostrad dan aparat Kepolisian Sektor Miomafo Barat.

Ritual adat tersebut dilakukan dengan menyembelih ayam dan sapi sebagai hewan kurban di kuburan kepala suku adat warga setempat.

Tetua adat Desa Manusasi, Ferdi Fai mengatakan, ritual tersebut ditandai dengan pemotongan ayam di atas tugu adat berupa kuburan kepala suku adat Valia Anumut.

"Selain pemotongan ayam, ritual adat juga disertai dengan pemotongan sapi yang kepalanya kemudian dikonsumsi bersama masyarakat setelah dilakukan ritual adat," ucapnya.

Menurut Ferdi Fai, ritual adat tersebut merupakan wujud komunikasi kepada para leluhur tentang masalah sengketa lahan yang sekarang sedang dihadapi.

"Kami meminta kepada para leluhur untuk memberikan perlindungan, kekuatan, dan jalan bagi kami untuk menghadapi sengketa lahan," katanya.

Lanjut Ferdi, masyarakat Desa Manusasi dihadapkan dengan klaim kepemilikan lahan seluas lebih dari 200 hektar oleh masyarakat Ambenu, Timor Leste, dengan berpatokan pada pilar yang dibangun pada tahun 1915 silam.

Seadngkan pilar yang digunakan sebagai patokan batas wilayah saat ini dibangun pada tahun 1966 sesuai dengan bukti sejarah yanga ada.

"Jika pilar yang dibangun pada 1915 sebagai patokan untuk batas wilayah maka semua lahan yang merupakan wilayah NKRI akan dimiliki oleh Timor Leste," katanya.

Oleh karenanya, lanjut dia, masyarakat Manusasi menolak adanya penentuan batas wilayah dengan pilar yang ditentukan oleh pemerintah Timor Leste.

"Untuk menunjukkan kebenaran itu maka kami mengadakan ritual adat sekaligus menunjukkan bahwa kami serius untuk menghadapi masalah sengketa lahan ini," katanya.

Sementara itu, Kepala Badan Pengelola Perbatasan Provinsi NTT, Paul Manehat menjelaskan, dengan adanya rital adat itu, pemerintah pusat sudah mengetahui tentang proses penyelesaian persoalan Bijaesunan dan Oben antar masyarakat dengan pendekatan sosial budaya.

“Sementara ini sudah kita lakukan, tinggal pemerintah pusat melihat kondisi di sana dan segera mengambil keputusan lebih lanjut untuk penyelesaian, menggunakan pendekatan sosial budaya, dan sampai saat ini kita masih terus menunggu koordinasi dengan pemerintah pusat,” jelasnya.

Di tempat yang sama utusan dari Kementerian Luar Negeri Anat Winakno enggan berkomentar banyak terkait hal itu, karena pihaknya hanya mengumpulkan data-data, termasuk konsultasi publik dan mendengarkan masukan dari masyarakat.

“Kita belum bisa berbicara terkait dengan ini dan akan kita laporkan dulu ke pimpinan di Jakarta untuk kemudian bisa ditindaklanjuti,” ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com