Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Zona Netral dan Kuli Panggul di Perbatasan Indonesia-Malaysia

Kompas.com - 28/08/2015, 17:06 WIB
Kontributor Pontianak, Yohanes Kurnia Irawan

Penulis

ENTIKONG, KOMPAS.com - Zona netral yang berada di perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia rawan terjadi penyelundupan, salah satunya narkoba. Dalam zona netral, kedua negara tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan berbagai macam penindakan.

Hal tersebut dikemukakan Kepala Bea Cukai Entikong Tjertja Karya Adil setelah jumpa pers penggagalan penyelundupan 4,8 kilogram sabu dan 19.000 butir ekstasi, Kamis (27/8/2015).

Bongkar muat di wilayah zona netral tersebut kebanyakan dilakukan oleh warga perbatasan yang berbelanja kebutuhan pokok dalam jumlah besar yang akan dijual kembali di Indonesia.

"Jadi, kalau bongkar di kawasan netral, pihak Bea Cukai tidak bisa melakukan apa-apa. Nah, dari wilayah netral itu barang kemudian dipikul dan dilempar ke luar pagar," kata Tjertja, Kamis (27/8/2015).

Sementara itu, di perbatasan, saat keluar dari pos lintas batas menuju arah Malaysia, tampak sebuah gerbang besar dengan dua pintu masuk dan keluar di wilayah Indonesia. Begitu pula sebaliknya, tampak gerbang yang nyaris sama ketika memasuki wilayah Malaysia.

Di antara kedua gerbang tersebut, ada wilayah yang menjadi zona netral. Tampak belasan wanita dan pria dari berbagai usia sedang duduk di zona tersebut. Mereka merupakan kuli panggul yang akan memikul barang dari zona netral menuju wilayah Indonesia.

Tak berapa lama kemudian, datang sebuah mobil minibus yang berhenti di zona tersebut. Aktivitas bongkar muat pun terjadi. Beberapa di antara mereka yang merupakan langganan dari si pemilik barang terlihat mengantre untuk mendapatkan jatah barang yang akan dipikul.

Samsiah, satu di antara warga tersebut mengatakan, pekerjaan tersebut menjadi satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukannya saat ini. Dalam sehari, pendapatan yang diperolehnya tidak menentu, tergantung pada banyaknya barang yang dipikul.

Ongkos pikul setiap barang pun tak sama. Untuk memikul satu kardus berukuran sedang, upah yang diperoleh sebesar Rp 2.000. Dalam sekali angkut, Samsiah bisa membawa 5 kardus sekaligus. Barang tersebut pun harus dibagi dengan rekan lainnya, supaya bisa kebagian jatah pikul.

"Kalau kardus ini Rp 2.000, kalau bawa tempat telur itu Rp 5.000. Karung beras lain lagi harganya. Satu hari ndak tentulah dapatnya, bisa dapat Rp 50.000, tapi jarang, yang antre ikut pikul ramai," kata Samsiah kepada Kompas.com.

Jarak yang ditempuh tergantung dengan kesepakatan antara tukang pikul dan pemilik barang. Barang tersebut mereka pikul melewati pagar teralis yang ada di perbatasan, kemudian berjalan menuju arah perbukitan.

Aktivitas yang mereka lakukan di zona netral tersebut tampak terbiasa. Tak ada rasa canggung ataupun khawatir jika aktivitas yang mereka lakukan ini akan ditindak oleh petugas. Kondisi ini bisa saja menjadi celah bagi sebagian oknum memanfaatkan keberadaan dan jasa mereka, karena barang yang mereka pikul tidak melewati proses filterisasi petugas yang berkompeten seperti bea cukai.

"Jadi memungkinkan bisa saja barang tersebut masuk lewat situ, karena barang yang masuk tanpa di filter oleh aparat yang berkompeten. Tapi Bea Cukai tetap melakukan pengawasan bersama lembaga lainnya yang bertugas di perbatasan Entikong" jelas Tjertja.

Selain zona netral tersebut, masih banyak jalan tikus yang berada di perbatasan. Jalan tikus tersebut juga menjadi salah satu jalur keluar masuknya barang-barang yang akan diselundupkan.

"Untuk meng-cover wilayah tersebut, kami serahkan kepada petugas pengaman perbatasan (pamtas), karena mereka terbiasa keluar masuk hutan dan paham dengan kondisi medan. Bea Cuka hanya meng-cover di sekitar pos lintas batas bersama lembaga lainnya," katanya.

Di antara terbatasnya kewenangan penegak hukum di zona netral, terselip masalah sosial dan ekonomi masyarakat diwilayah perbatasan. Zona netral di antara pintu perbatasan, rawan tapi bebas dari kewenangan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com