PURWOREJO, KOMPAS.com - Nama Wadon Wadas, mungkin sudah tidak asing lagi di telinga.
Ya, perkumpulan perempuan ini, memang terkenal sejak meledaknya perlawanan mereka terhadap lahan tambang batuan andesit di Desa Wadas, Bener, Purworejo, Jawa Tengah, beberapa waktu yang lalu.
Demi mempertahankan ruang hidupnya, Wadon Wadas harus mengalami tekanan dan intimidasi oleh pihak-pihak yang ingin merusak alam di desanya.
Rusaknya alam Wadas kian nyata dengan direalisasikannya Izin Penetapan Lokasi (IPL) oleh Gubernur Jawa Tengah saat itu Ganjar Pranowo.
Bahkan, izin yang habis pun terus diperpanjang untuk merusak alam Wadas.
Dikutip dari rilis resmi Wadas Melawan, tambang batuan andesit di Wadas akan mengganggu kelestarian lingkungan dan berpotensi menghilangkan sumber mata air desa setempat.
Tambang quarry atau penambangan terbuka di Wadas rencananya akan dikeruk dengan cara dibor dan diledakkan menggunakan dinamit hingga kedalaman empat puluh meter.
Atas alasan itulah warga Wadon Wadas menolak mentah-mentah penambangan yang yang ada di desanya, termasuk Imel (20), seorang remaja dua puluh tahun dan seorang pejuang penolak tambang yang tergabung dalam Wadon Wadas, organisasi warga di bawah naungan Gerakan Masyarakat Pecinta Alam Desa Wadas (disingkat Gempa Dewa), yang konsisten menolak pertambangan batuan andesit di desanya.
Selain merusak ekosistem lingkungan, tambang batuan andesit di Desa Wadas juga merusak potensi ekonomi dan menyebabkan konflik. Tambang batuan andesit ini akan menghilangkan pekerjaan warganya yang sebagian besar adalah petani.
Mereka akan kehilangan lahan produktif yang sehari-hari sebagai tempat mata pencaharian warga.
Dengan berbekal Google Maps yang dikirimkan Imel, Kompas.com mencoba menelusuri jalan menuju Desa Wadas, untuk mendalami kisah Wadon Wadas yang konsisten berjuang dalam mempertahankan ruang hidupnya.
"Lokasinya yang pertama kejadian kekerasan waktu puasa," kata Imel, memberikan petunjuk melalui pesan WhatsApp.
Langsung saja kata kunci yang diberikan Imel mengingatkan pada Jumat 23 April tahun 2021 lalu. Masyarakat Desa Wadas menyebutnya dengan "tragedi 234".
Mungkin, hari itu adalah hari yang tak terlupakan oleh Imel dan warga kontra tambang lainnya.
Siapa sangka acara mujahadah dan doa bersama masyarakat Wadas, penolak tambang, yang seharusnya khusuk dan tenang, malah menjadi hari yang memilukan bagi sebagian warga, khususnya Imel.
Pada tragedi bulan puasa itu, Imel dan 11 kawan seperjuangnnya ditangkap aparat selepas bentrok yang tak dapat dihindarkan antara warga dan ratusan aparat kepolisian yang kala itu dipimpin oleh Kapolres Purworejo AKBP Rizal Marito.
Kedatangan aparat tersebut diketahui untuk mengawal Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Purworejo dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Serayu-Opak untuk melakukan sosialisasi pemasangan patok trase dan mengecek bidang tanah milik warga.
Namun, kehadiran para pejabat elit yang tidak diharapkan tersebut dihadang warga dengan aksi mujahadah dan doa bersama di jalan tepat di sebelah rumah Imel.
"Waktu itu (saat terjadi bentrokan) saya mengambil video, terus saya mau ke bawah, tapi ada yang bilang 'itu tangkap' terus tiba-tiba sudah ditangkap," kata Imel, menceritakan penangkapan dirinya saat tragedi 23 April 2021 yang lalu.
Tak berselang lama, setelah ditangkap Imel dimasukkan mobil polisi dan dibawa ke Polsek Bener. Menjelang sore, Imel dibawa ke Polres Purworejo untuk dimintai keterangan.
"Baru dilepas jam 2 malam, nunggu direktur LBH (Jogja) datang," kata Imel, Senin (17/6/2024).
Berbekal kata kunci yang diberikan Imel, Kompas.com menelusuri jalanan mengikuti arah yang ditunjukkan Google Maps, sembari mengingat lokasi peristiwa 23 April yang sempat menghebohkan warga desa itu.
Sebenarnya, rumah Imel tak begitu jauh, kurang lebih 30 menit dari pusat Kota Purworejo.
Saat memasuki desa, bentangan spanduk penolakan sudah sangat akrab menyambut siapapun yang datang ke Desa Wadas.
Gambar-gambar mural pun tak luput menyuarakan suara rakyat yang akan tertindas oleh tambang ini.
Saat pertama tiba di depan rumah Imel, beberapa bilah bambu dan potongan bambu yang sudah dibersihkan berjajar rapi di teras rumahnya.
Tak berselang lama seorang perempuan paruh baya pun keluar dan menyambut dengan penuh kesopanan khas desa.
"Maaf, Mas, berantakan," kata dia, sembari merapikan bilah-bilah bambu bahan untuk membuat besek, anyaman bambu untuk tempat nasi atau makanan lain, yang merupakan ciri khas masyarakat Wadas.
Perempuan paruh baya berkulit sawo matang tadi adalah ibu dari Imel, dan juga anggota Wadon Wadas.