JAMBI, KOMPAS.com - Kasus kematian santri Pondok Pesantren (Ponpes) Raudhatul Mujawwidin di Kecamatan Rimbo Bujang, Kabupaten Tebo, Jambi terus bergulir.
Orangtua korban AH (13) menemukan banyak kejanggalan atas kematian anaknya yang dilaporkan pihak pesantren tewas karena kesetrum, berdasarkan keterangan klinik Rimbo Medical Center. Santri tersebut tewas pada Selasa (14/11/2023) lalu.
Orangtua yang merasa kematian anaknya tak wajar lapor polisi. Kemudian pada Senin (20/11/2023) polisi membongkar makam (ekshumasi) korban.
Hasil otopsi dari dokter forensik pada 13 Desember 2023 lalu menemukan fakta kematian santri AH disebabkan memar sekujur tubuh, tulang rusak patah, kemudian patah batang tengkorak dan juga terjadi pendarahaan di bagian otak.
Baca juga: Santri di Jambi Meninggal Diduga Dianiaya, Keluarga Lakukan Ekshumasi
Menurut keterangan dari pengacara orangtua santri AH, Rifki Septino terdapat sejumlah kejanggalan ketika pihak Ponpes mengatarkan jenazah almarhum.
Pertama, Informasi terkait kematian santri dari pihak Ponpes disampaikan kepada tetangga, bukan kepada orangtua.
Selanjutnya ketika pihak Ponpes mengantarkan jenazah, mereka melarang pihak orangtua maupun keluarganya untuk membuka kain kafan.
Namun setelah orangtua memaksa, kain kafan dibuka dan ditemukan bercak darah.
“Pihak Pesantren sempat melarang orangtua membuka kain kafan dengan alasan jenazah sudah dimandikan dan dishalati. Tapi orangtuanya memaksa, ketika dibuka ada bercak darah,” kata Rifki melalui sambungan telepon, Senin (18/3/2024).
Baca juga: Santri di Jambi Di-bully Senior sampai Masuk RS, Orangtua: Saya Tak Mau Damai
Ia mengatakan kejanggalan lain muncul karena pihak Polres Tebo lamban menangani kasus. Semenjak dilaporkan sudah empat bulan, namun belum ada tersangka yang ditetapkan.
Setelah kasus ini viral, barulah pihak Polda Jambi menurunkan tim khusus ke Polres Tebo dan mengungkap ke publik jika ada 47 orang saksi yang telah diperiksa.