KOMPAS.com - Karungut adalah seni khas masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah.
Karungut berupa sastra lisan yang juga dapat disebut pantun yang dilagukan.
Sastra lisan karungut sama dengan madihin di Kalimantan Selatan dan macapat di Jawa Tengah
Kesenian tersebut merupakan salah satu warisan nenek moyang dalam bentuk lagu dan syair yang disusun sendiri oleh penciptanya tanpa menyimpang dari kaidah baku.
Karungut dapat dilantunkan dalam penyambutan tamu sebagai ekspresi kegembiraan.
Karungut berasal dari kata karunya, kata tersebut diambil dari bahasa Sangiang dan bahasa Sangen/Ngaju Kuno. Karunya berarti tembang.
Asal-usul Karungut dari Kendayu yang merupakan puja-puji maupun kidung dalam agama Hindu Kaharingan.
Baca juga: Madihin, Sastra Lisan di Banjar, Latar Belakang dan Fungsi
Sehingga ada yang mengatakan Karungut tersebut merupakan Kendayu atau sebaliknya.
Pada jaman dahulu, Karungut digunakan oleh ibu-ibu untuk menidurkan anaknya dengan cara bersenandung maupun menyanyi.
Syair-syair karungut menjadi media yang efektif untuk menanamkan nilai-nilai luhur budaya.
Dahulu fungsi karungut sebagai media pengajaran. Seorang balian (guru atau dukun) akan menyampaikan pengajaran kepada muridnya dengan mengarunut.
Para murid kemudian akan menjawab atau melaksanakan perintah guru tersebut dengan mengarunut.
Belakangan ini, karungut digunakan untuk hajatan, seperti perkawinan, khitanan, penyambutan tamu, hari ulang tahun, ulang tahun kantor, bahkan kampanye Pilkada.
Untuk orang yang menuturkan karungut disebut pengarunut.
Dahulu, pelantun karungut diiringi dengan musik pengiring berupa kacapi atau kecapi bersenar dua dan tiga.