KOMPAS.com - Satriadi Putra (25) menaiki motor menuju Dusun Melung, Desa Batu Tering, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Meski mengalami disabilitas daksa dan berjalan menggunakan tongkat, ia pantang menyerah.
Tanpa kenal lelah, ia menyambangi satu per satu rumah warga. Beruntung, ia memiliki teman yang bersedia menemani dan memboncengnya saat melakukan pekerjaan tersebut.
Kedatangannya untuk mendata satu per satu warga yang mengalami disabilitas sejak bayi, hingga warga lanjut usia yang membutuhkan pertolongan.
Baca juga: Kisah David, Disabilitas Rungu Berprestasi di SLBN 1 Sumbawa
"Saya bertemu C (8) anak dengan disabilitas grahita dan autis," cerita Satriadi saat ditemui Minggu (5/11/2023).
Ia belum bisa merasakan bangku sekolah karena kondisi keluarga tidak mampu. Ayah dan ibunya seorang petani.
"Saya akan berusaha advokasi agar C bisa sekolah seperti teman seusianya," kata Satriadi.
Pendataan dan identifikasi kebutuhan anak dengan hambatan belajar masih terus dilakukan.
Untuk sementara berdasarkan data di desa ini ada penyandang disabilitas daksa, rungu, wicara, autis dan grahita.
"Saya belum bisa sebut jumlah totalnya karena pendataan masih dilakukan. Ada lebih dari 10 orang terdata sementara," sebutnya.
Menurut Satriadi, masyarakat tidak lagi memandang para penyandang disabilitas sebagai warga kelas dua.
Namun akses pendidikan yang inklusif belum bisa dirasakan sepenuhnya oleh anak dengan disabilitas.
Baca juga: Kegigihan Orangtua Rawat Anak Disabilitas: Apakah Anak Saya Masih Punya Mimpi?
Hal itu disebabkan banyak faktor, salah satunya orangtua anak yang masih merasa aib dan membatasi mimpi anaknya yang mengalami disabilitas.
Tentu proses menghilangkan stigma dan diskriminasi di tengah masyarakat bagi anak difabel tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Sebagai ketua kelompok difabel di Desa Batu Tering, Satriadi harus berjuang lebih masif lagi untuk mengubah mindset masyarakat.