BIMA, KOMPAS.com - Pengamat Hukum Perlindungan Anak dari Universitas Mataram (Unram), Joko Jumadi, meminta status layak anak di Kabupaten Bima dan Kota Bima dicabut.
Hal ini menyusul terulangnya kasus kematian joki cilik di arena pacuan kuda di Desa Panda, Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), pada Minggu (13/8/2023) sekitar pukul 9.00 Wita.
Korban berinisial AB (12), bocah kelas 5 sekolah dasar (SD) di Kelurahan Rabangodu Utara, Kecamatan Rasanae Timur, Kota Bima.
Dia meninggal tak lama setelah menjalani perawatan akibat mengalami pendarahan otak usai terjatuh dari punggung kuda.
"Kalau ada mekanismenya, saya meminta untuk dicabut status layak anak di Kota dan Kabupaten Bima," kata Joko Jumadi saat dihubungi, Senin (14/8/2023).
Baca juga: Para Joki Cilik yang Meninggal di Arena Pacuan Kuda di Bima
Joko Jumadi menilai, status layak anak belum tepat disematkan untuk dua wilayah tersebut, sebab praktik penggunaan joki cilik masih terjadi.
Menurutnya, penggunaan joki cilik dalam tradisi pacuan kuda melanggar hak anak, dan termasuk praktik eksploitasi yang jelas bertentangan dengan hukum.
"Masih mau menunggu berapa banyak anak yang meninggal baru kemudian pacuan kuda ini dihentikan. Sangat ironis kalau joki cilik yang jelas melanggar hak anak ada di Kota Bima," ungkapnya.
Baca juga: Joki Cilik Tewas di Arena Balapan, LPA Kota Bima Sesalkan Korban Diduga Tak Dibekali APD
Kematian AB, lanjut Joko Jumadi, harus menjadi bahan evaluasi bagi semua pihak, terutama pemerintah daerah untuk menghentikan penggunaan joki cilik.
Anak tidak harus menjadi joki pacuan kuda, tetapi bisa dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan serupa yang tidak mengancam keselamatan mereka.
"Olahraga berkuda itukan cukup banyak, salah satu berkuda indah, itu nanti anak-anak bisa ditempatkan di sana. Tidak harus kemudian dia ikut pacuan kuda," ungkapnya.