GROBOGAN, KOMPAS.com - Nyaris dua bulan warga Desa Geyer, Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah mengalami krisis air akibat kemarau.
Sumur tadah hujan yang menjadi andalan sudah kering kerontang. Pun demikian juga dengan sungai setempat yang telah gersang.
Desa Geyer adalah salah satu permukiman terpencil di Kabupaten Grobogan yang menjadi langganan kekeringan saat kemarau.
Untuk mencukupi kebutuhan air bersih sehari-hari, desa yang dihuni oleh 5.800 jiwa ini bersandar pada sumur tadah hujan. Selain itu, mereka juga bertumpu pada pasokan air dari sungai setempat.
Baca juga: 51 Desa di Sumenep Terancam Kekeringan, Pemkab Upayakan Distribusi Air
Selama ini, Desa Geyer memang tidak terakses pasokan air bersih dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Terlebih lagi, Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) tak menyasar Desa Geyer lantaran minim kandungan air.
Kondisi pun memprihatinkan saat hujan tak lagi mengguyur pedesaan di kawasan hutan ini. Mereka benar-benar berada dalam situasi terpuruk akibat darurat air bersih.
Para warga kurang mampu harus bersusah payah berburu tetesan air dari dasar sungai yang mengering. Tanah tandus itu pun mereka gali seukuran tong sampah dengan harapan muncul cadangan air.
Selasa (18/7/2023) sore, puluhan warga Desa Geyer mengantre air di depan beberapa kubangan yang telah digali dari dasar sungai kering itu.
Rongga-rongga di dasar sungai itu biasa disebutnya dengan nama "belik". Di alur sungai yang gersang itu, warga sudah membuat sejumlah belik yang menampung resapan air sungai itu.
Setiap belik dimanfaatkan warga bergiliran. Meski airnya keruh dan berasa asin, warga tidak ada pilihan lain dan tidak mempersoalkannya.
Lubang-lubang sedalam sekitar 1 meter itu perlahan terisi air. Setelah penuh, air keruh itu diciduk menggunakan gayung lantas diisikan ke ember, galon dan jeriken.
Beruntung bagi warga yang jarak rumahnya dekat dengan belik. Pasalnya mereka tak harus kerepotan mengangkut penampung-penampung air itu.
Untuk memenuhi satu jeriken kemasan 40 liter dibutuhkan waktu paling cepat 10 menit. Jeriken diangkut menuju rumah menggunakan motor, dan ada juga yang digendong dengan berjalan kaki.
Seperti halnya Siti Rukayah (53) yang mengaku kelimpungan harus bolak-balik menggendong jeriken dari belik menuju rumahnya.
Buruh tani Desa Geyer ini terpaksa berjalan kaki sejauh hampir 200 meter dari belik menuju rumahnya.