Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Doddy Salman
Dosen

Mengajar di Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara Jakarta

Mengawal Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Kompas.com - 13/07/2023, 11:59 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

ENTAH bagaimana perasaan Saranah menyaksikan penyintas Rumoh Geudong pulang membawa bingkisan dan bahan kebutuhan pokok.

Padahal lebih dari tiga puluh tahun lalu di tempat itu Saranah ditelajangi, dipukuli, dan lehernya diikat tali. Hingga kini ia masih ingat kekerasan, bahkan nama-nama tentara yang menyiksanya.

Ada juga Kamariah yang ibunya telah wafat, namun sebagai keluarga korban nasibnya sama dengan Saranah.

Saranah dan Kamariah adalah sebagian dari 27 korban pelanggaran hak asasi manusia berat Rumoh Geudong yang hingga kini belum mendapat kepastian akan haknya sebagai korban (Kompas, 3/7/23).

Rumoh Geudong di Desa Bili Glumpang Tiga Pidie, Aceh, memang menjadi saksi dimulainya pelaksanaan penghormatan HAM dan upaya penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu.

Butir Nawacita yang sudah dikumandangkang hampir sepuluh tahun lalu itu akhirnya diwujudkan pemerintahan Joko Widodo melalui program Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

Presiden Jokowi menegaskan bahwa realisasi pemulihan hak korban dalam 12 peristiwa pelanggaran HAM berat merupakan tanda komitmen bersama untuk mencegah hal serupa terulang pada masa datang (Kompas, 30/6/23).

Alejandro Baer dan Natan Sznaider dalam bukunya Memory and Forgetting in the Post-Holocaust Era (2017) memaparkan lebih dalam konsep Never Again (mencegah terulang lagi).

Konsep ini menekankan tiga hal penting, yaitu mengingat kekejaman (remember atrocity), memuliakan korban (honor the victims) dan belajar untuk masa depan (learn for the future).

Dalam konteks program pemerintahan Joko Widodo, maka mengingat pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu dapat menjadi upaya untuk memahami dan menghormati korban serta mencegah terulangnya pelanggaran serupa pada masa depan.

Pendekatan yang inklusif dan pluralistik harus diterapkan dalam mengingat masa lalu yang penuh dengan konflik dan pelanggaran.

Ini termasuk mengakui dan menghargai berbagai kelompok yang menjadi korban, serta mempertimbangkan berbagai perspektif yang ada dalam proses rekonsiliasi dan memori kolektif.

Menilai Pro-kontra pembongkaran Rumoh Geudong sebagai wacana positif di masyarakat, misalnya, adalah praktik mempertimbangkan beragam perspektif tersebut.

Hal serupa dapat terjadi juga pada peristiwa pelanggaran HAM berat lainnya seperti kerusuhan Mei 1998, peristiwa penghilangan orang secara paksa 1997-1998, dan peristiwa Trisakti dan Semanggi II 1998-1999.

Tak hanya itu, masyarakat dapat disadarkan bahwa pengalaman dan ingatan kolektif mereka dapat memengaruhi pemahaman dan persepsi individu dalam kelompok tersebut. Inilah yang disebut anamnesis kolektif.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com