SEMARANG, KOMPAS.com - Pakar Ilmu Lingkungan Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata, Budi Setiawan mempertanyakan kepentingan pemerintah dalam program subsidi motor listrik. Diketahui melalui kebijakan tersebut, masyarakat dapat membeli motor listrik seharga Rp 8-10 juta.
Dia menilai saat ini kondisi listrik di Indonesia memang surplus. Namun menurutnya, energi listrik tersebut masih bersumber dari fosil atau batu bara yang diolah di PLTU.
“Kalau kita beralih ke listrik, kita lihat dulu sumbernya dari mana. Kita mayoritas dari PLTU dan kondisi listrik kita surplus sekarang. Pemerintah mendorong itu karena suplai listrik terlalu banyak, atau karena kepentingan lainnya yang positif,” tutur Budi saat ditemui di kampus, Rabu (5/4/2023).
Baca juga: Subsidi Konversi Motor Listrik Rp 7 Juta, Biaya Maksimal Rp 10 Juta
Menurutnya, jika pemerintah memang serius dalam transisi energi berkelanjutan maka seharusnya mengutamakan perbaikan transportasi massal. Apalagi subsidi motor listrik dinilai tak efektif karena dampaknya untuk perorangan.
“Sebenernya kalau mau cepat itu transportasi publiknya yang didahulukan. Karena kalau kita subsidi satu per satu, kemampuan individu (dalam membeli motor) tidak merata,” ungkapnya.
Dia menilai pemerintah lebih baik mengarahkan subsidi tersebut untuk transportasi massal berenergi listrik. Pasalnya semua kalangan dapat mengakses dan merasakan setiap waktu.
“Kalau biaya subsidi dipakai untuk transportasi massal, katakanlan bus, sekali jalan membawa 30 penumpang. Daripada mensubsidi 30 orang seperti ini Rp 7 juta dikali 30 sudah Rp 270 juta. Kalau dibelikan bus atau feeder kan sudah jadi,” tuturnya.
Selain itu, langkah tersebut juga mampu membangun budaya masyarakat untuk menggunakan transportasi massal. Termasuk juga mengurangi polusi yang memicu efek Rumah kaca dan perubahan iklim.
“Masalahnya ya itu tadi budaya, orang Indonesia budayanya beda dengan orang Eropa yang suka jalan. Orang sini disuruh jalan lima menit sudah gembrobyos (berkeringat). Cuaca tidak mendukung. Ini yang menyebabkan budaya kita seperti ini. Mau jalan ke toko aja milih naik motor,” katanya.
“Kalau fokus transportasi massal bisa membangun kesadaran masyarakat sejak dini. Khususnya yang masih anak-anak, tidak bisa setelah SMP ke atas itu sudah sangat sulit. Jadi ini pesan untuk orangtua dan guru,” tandasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.