BENGKULU, KOMPAS.com - Pagi itu, Gupardi (50) menyandang tas karung ditemani sisa hujan semalam menapaki jalan becek menuju kebun kopi miliknya yang ditempuh selama 1,5 jam di Desa Lubuk Resam, Kecamatan Seluma Utara, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.
Peluh bercucuran membasahi dahi dan pakaiannya. Hari ini Gupardi berencana menyiangi kebun kopi yang sudah dipanen beberapa pekan lalu.
Begitulah rutinitas Gupardi dan ratusan warga Desa Lubuk Resam petani kopi setiap hari. Bertani, lalu menjual kopi ke tengkulak hingga tersaji di kafe-kafe ternama.
Perjuangan Gupardi dan ratusan petani kopi lain di Desa Lubuk Resam semakin berat sejak 10 tahun terakhir. Pasalnya, persoalan petani kopi semakin kompleks, mulai dari harga tak bersaing hingga cuaca ekstrem yang memengaruhi panen.
Baca juga: Sebelum Keracunan, Penghuni Kontrakan di Bantar Gebang Bekasi Beli 5 Saset Kopi Merek Berbeda
"Sejak 10 tahun terakhir hasil kopi terjun bebas atau menurun. Biasanya satu hektare kebun menghasilkan 2 ton kopi, tapi sekarang hanya 1 ton, banyak juga yang tidak sampai 1 ton. Penyebabnya, pupuk mahal dan langka, cuaca tak menentu, hingga tanah jenuh terlalu sering diberi pupuk kimia," cerita Gupardi.
Menurut Gupardi, persoalan yang cukup mengkhawatirkan adalah cuaca ekstrem yang tidak dapat diprediksi sejak 10 tahun terakhir.
"Kalau harga naik turun itu wajar, pupuk dari kimia ke organik saat ini sedang kami siasati. Namun cuaca ekstrem tak menentu sejak 10 tahun terakhir, tak mampu kami siasati. Ini membahayakan tanaman kopi," jelas Gupardi.
Gupardi berkata, saat ini cuaca sangat panas yang membuat banyak putik calon bunga kopi menjadi hangus. Kemudian saat hujan deras mengguyur wilayahnya, bunga kopi otomatis akan gugur.
Tanaman kopi memasuki fase berbunga mulai Juli hingga September. Kemudian fase bunga menjadi putik Oktober hingga Desember. Artinya, fase yang paling rawan pada tanaman budidaya kopi dimulai dari Juli hingga Desember.
"Juli hingga Desember saat ini panas dan hujan terjadi begitu luar biasa, jika panas maka panasnya terik menghanguskan putik bunga. Bila hujan maka hujannya panjang, menggugurkan bunga. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya saat 10 tahun lalu" kata Gupardi.
"Saat putik bunga kopi hangus di terik matahari, maka pupuslah mimpi kami," tandasnya.
Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, jenuhnya tanah akibat tingginya penggunaan pupuk kimia juga melilit kebun-kebun petani di Bengkulu.
Sejumlah petani di Desa Lubuk Resam menjelaskan dalam perhitungan mereka per hektar kebun kopi membutuhkan 500 kg pupuk poshka.
"Itu kalau hasil mau maksimal. Belum lagi pupuk mahal sekarang sementara tanah sudah rusak akibat pupuk kimia. Pilihan mengelola pupuk organik mulai kami lakukan," ujar Gupardi.
Nestapa petani kopi ini sejauh ini belum menjadi perhatian serius pemerintah baik dalam penanganan infrastruktur, pengelolaan pupuk organik dan kompos, apalagi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.