Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Nestapa Petani Kopi Bengkulu, 10 Tahun Bergulat dengan Cuaca Ekstrem hingga Panen Berkurang Ratusan Kg

Kompas.com - 16/01/2023, 15:56 WIB
Firmansyah,
Gloria Setyvani Putri

Tim Redaksi

BENGKULU, KOMPAS.com - Pagi itu, Gupardi (50) menyandang tas karung ditemani sisa hujan semalam menapaki jalan becek menuju kebun kopi miliknya yang ditempuh selama 1,5 jam di Desa Lubuk Resam, Kecamatan Seluma Utara, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.

Peluh bercucuran membasahi dahi dan pakaiannya. Hari ini Gupardi berencana menyiangi kebun kopi yang sudah dipanen beberapa pekan lalu.

Begitulah rutinitas Gupardi dan ratusan warga Desa Lubuk Resam petani kopi setiap hari. Bertani, lalu menjual kopi ke tengkulak hingga tersaji di kafe-kafe ternama.

Perjuangan Gupardi dan ratusan petani kopi lain di Desa Lubuk Resam semakin berat sejak 10 tahun terakhir. Pasalnya, persoalan petani kopi semakin kompleks, mulai dari harga tak bersaing hingga cuaca ekstrem yang memengaruhi panen.

Baca juga: Sebelum Keracunan, Penghuni Kontrakan di Bantar Gebang Bekasi Beli 5 Saset Kopi Merek Berbeda

"Sejak 10 tahun terakhir hasil kopi terjun bebas atau menurun. Biasanya satu hektare kebun menghasilkan 2 ton kopi, tapi sekarang hanya 1 ton, banyak juga yang tidak sampai 1 ton. Penyebabnya, pupuk mahal dan langka, cuaca tak menentu, hingga tanah jenuh terlalu sering diberi pupuk kimia," cerita Gupardi.

Menurut Gupardi, persoalan yang cukup mengkhawatirkan adalah cuaca ekstrem yang tidak dapat diprediksi sejak 10 tahun terakhir.

"Kalau harga naik turun itu wajar, pupuk dari kimia ke organik saat ini sedang kami siasati. Namun cuaca ekstrem tak menentu sejak 10 tahun terakhir, tak mampu kami siasati. Ini membahayakan tanaman kopi," jelas Gupardi.

Gupardi berkata, saat ini cuaca sangat panas yang membuat banyak putik calon bunga kopi menjadi hangus. Kemudian saat hujan deras mengguyur wilayahnya, bunga kopi otomatis akan gugur.

Tanaman kopi memasuki fase berbunga mulai Juli hingga September. Kemudian fase bunga menjadi putik Oktober hingga Desember. Artinya, fase yang paling rawan pada tanaman budidaya kopi dimulai dari Juli hingga Desember.

"Juli hingga Desember saat ini panas dan hujan terjadi begitu luar biasa, jika panas maka panasnya terik menghanguskan putik bunga. Bila hujan maka hujannya panjang, menggugurkan bunga. Hal ini tidak pernah terjadi sebelumnya saat 10 tahun lalu" kata Gupardi.

"Saat putik bunga kopi hangus di terik matahari, maka pupuslah mimpi kami," tandasnya.

Gupardi (kaos merah) berpose bersama bunga rafflesia yang tumbuh di kebun kopi miliknya di Desa Lubuk Resam, Kecamatan Seluma Utara, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.KOMPAS.com/FIRMANSYAH Gupardi (kaos merah) berpose bersama bunga rafflesia yang tumbuh di kebun kopi miliknya di Desa Lubuk Resam, Kecamatan Seluma Utara, Kabupaten Seluma, Provinsi Bengkulu.

Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, jenuhnya tanah akibat tingginya penggunaan pupuk kimia juga melilit kebun-kebun petani di Bengkulu.

Sejumlah petani di Desa Lubuk Resam menjelaskan dalam perhitungan mereka per hektar kebun kopi membutuhkan 500 kg pupuk poshka.

"Itu kalau hasil mau maksimal. Belum lagi pupuk mahal sekarang sementara tanah sudah rusak akibat pupuk kimia. Pilihan mengelola pupuk organik mulai kami lakukan," ujar Gupardi.

Nestapa petani kopi ini sejauh ini belum menjadi perhatian serius pemerintah baik dalam penanganan infrastruktur, pengelolaan pupuk organik dan kompos, apalagi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

"Saya pernah baca soal perubahan iklim disebabkan oleh pemanasan global, pemanasan global akibat aktifitas manusia yang tidak ramah lingkungan. Saya tak sangka rupanya berpengaruh pada tanaman kopi kami," ujar Gupardi.

Riset Walhi

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bengkulu, Abdullah Ibrahim Ritonga, mengamini keluhan ribuan petani kopi yang diceritakan Gupardi.

Pada 2020, Walhi Bengkulu melakukan riset terkait dampak perubahan cuaca ekstrem terhadap produktivitas kopi di Bengkulu.

Ilustrasi kopi. UNSPLASH/JULIA FLORCZAK Ilustrasi kopi.

Bengkulu memiliki perkebunan kopi rakyat seluas 86 ribu hektare, dengan produksi 60 ribu ton biji kopi kering per tahun.

Beberapa tahun terakhir, jumlah panen menurun hingga 500-700 kg per ha/tahun. Salah satunya karena perubahan iklim.

"Hasil riset ditemukan sejak 10 tahun terakhir rentang tahun 2010 hingga 2020. Ditemukan terdapat anomali (kekacauan) cuaca iklim, hujan, panas tak menentu disertai intensitas ekstrim. Hasilnya cuaca ekstrim itu menyebabkan bunga kopi petani gugur di musim hujan lalu terbakar di musim panas. Sebelumnya ini tidak pernah terjadi," kata Abdullah Ibrahim Ritong saat ditemui di Bengkulu, Senin (16/1/2023).

Dalam riset Walhi, mengutip data BMKG terjadi anomali cuaca pada tahun 2015 hingga 2019 pola curah hujan yang tinggi dari bulan Agustus sampai Desember sehingga fase berbunga kopi menjadi putik menjadi gugur sehingga dapat menurukan produktifitas kopi di Desa Lubuk Resam.

Walhi menambahkan perubahan iklim merupakan fenomena alam global yang menjadi perhatian dunia karena dampaknya dirasakan oleh seluruh makhluk hidup.

Adanya perubahan tekanan udara akibat memanasnya suhu bumi menyebabkan iklim secara keseluruhan berubah maka terjadi peningkatan frekuensi dan intensitas banjir dan kekeringan serta peningkatan periodesitas El-Nino.

Perubahan iklim memiliki dampak negative salah satunya dapat menurunkan produktivitas tanaman khususnya tanaman kopi.

Meningkatnya peristiwa iklim seperti kekeringan akibat El-Nino mengakibatkan penurunan produktivitas kopi 10 persen. Sebaliknya musim hujan yang panjang akibat La-Nina menurunkan produksi kopi hingga 80 persen.

Dampak tidak langsung perubahan iklim terhadap tanaman kopi yaitu meningkatnya serangan hama penggerek buah kopi dan penyakit karat daun yang menyebabkan penurunan produksi sekitar 50 persen.

Baca juga: Cara Petani di Aceh Utara Atasi Kekeringan Berkepanjangan

Manfaatkan kotoron kelalawar

Walhi, bersama sejumlah petani kopi di Desa Lebuk Resam saat ini sedang menginisasi pengelolaan pupuk kompos berbasis kotoran kelelawar, limbah dedak buah kopi.

"Kami bersama Walhi dan masyarakat saat ini sedang menginisasi pengelolaan pupuk kompos mengganti ketergantungan pupuk kimia. Kami memiliki ratusan goa di dalamnya ada ribuan ton kotoran kelelawar yang mungkin bisa kami manfaatkan untuk pupuk kompos. Saat ini masih dalam tahap perencanaan untuk memanfaatkan limbah buah kopi dan kotoran kelelawar," ujar Kepala Desa Lubuk Resam, Sudarmono.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Banjir dan Longsor Landa Pinrang, Satu Warga Tewas, Sejumlah Rumah Warga Ambruk

Banjir dan Longsor Landa Pinrang, Satu Warga Tewas, Sejumlah Rumah Warga Ambruk

Regional
Kasus Dokter Lecehkan Istri Pasien, Pelaku Serahkan Uang Damai Rp 350 Juta ke Korban

Kasus Dokter Lecehkan Istri Pasien, Pelaku Serahkan Uang Damai Rp 350 Juta ke Korban

Regional
UNESCO Tetapkan Arsip Indarung I Semen Padang Jadi Memory of the World Committee for Asia and the Pacific

UNESCO Tetapkan Arsip Indarung I Semen Padang Jadi Memory of the World Committee for Asia and the Pacific

Regional
Golkar Buka Peluang Majunya Raffi Ahmad di Pilkada Jateng

Golkar Buka Peluang Majunya Raffi Ahmad di Pilkada Jateng

Regional
Mantan Gubernur Babel Maju Periode Kedua Usai 'Video Call' dengan Gerindra

Mantan Gubernur Babel Maju Periode Kedua Usai "Video Call" dengan Gerindra

Regional
Kisah Istri Berusia 19 Tahun di Karimun yang Tewas Dibunuh Suami dengan Batang Sikat Gigi

Kisah Istri Berusia 19 Tahun di Karimun yang Tewas Dibunuh Suami dengan Batang Sikat Gigi

Regional
Terluka akibat Terperangkap di Pohon, Seekor Monyet di Salatiga Diserahkan ke BKSDA Jateng

Terluka akibat Terperangkap di Pohon, Seekor Monyet di Salatiga Diserahkan ke BKSDA Jateng

Regional
Maju Pilkada Blora, Politikus NasDem Mendaftar ke Gerindra

Maju Pilkada Blora, Politikus NasDem Mendaftar ke Gerindra

Regional
Kebakaran Pemukiman Nelayan di Pesisir Pulau Sebatik, 29 Jiwa Kehilangan Tempat Tinggal

Kebakaran Pemukiman Nelayan di Pesisir Pulau Sebatik, 29 Jiwa Kehilangan Tempat Tinggal

Regional
Kecanduan Judi Online, Pasutri di Kubu Raya Nekat Mencuri di Minimarket

Kecanduan Judi Online, Pasutri di Kubu Raya Nekat Mencuri di Minimarket

Regional
DMI dan LPQ Kota Semarang Usulkan Mbak Ita Maju Pilkada 2024

DMI dan LPQ Kota Semarang Usulkan Mbak Ita Maju Pilkada 2024

Regional
Kampung Jawi di Semarang: Daya Tarik, Jam Buka, dan Rute

Kampung Jawi di Semarang: Daya Tarik, Jam Buka, dan Rute

Regional
Gantikan Ganefri, Krismadinata Terpilih Jadi Rektor UNP 2024-2029

Gantikan Ganefri, Krismadinata Terpilih Jadi Rektor UNP 2024-2029

Regional
Anak Ketua DPC Gerindra Ambil Formulir Pilkada Blora di PDI-P

Anak Ketua DPC Gerindra Ambil Formulir Pilkada Blora di PDI-P

Regional
Video Viral Bocah Menangis di Samping Peti Mati Sang Ibu yang Dibunuh Ayahnya di Minahasa Selatan

Video Viral Bocah Menangis di Samping Peti Mati Sang Ibu yang Dibunuh Ayahnya di Minahasa Selatan

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com