KOMPAS.com - Suku Sasak di Lombok mengenal sebuah tradisi berupa pertarungan yang disebut peresean atau perisaian.
Tradisi peresean dilakukan oleh dua orang pria dari suku sasak yang bertarung layaknya gladiator.
Baca juga: Mengenal Tradisi Peresean, Budaya Adu Cambuk dari Lombok
Menjadi tradisi yang terdengar mengerikan cukup menarik, penonton juga harus memiliki nyali untuk melihat pertunjukkan ini.
Dilansir dari laman rri.co.id, tradisi yang dilakukan oleh masyarakat Suku Sasak di Lombok, Nusa Tenggara barat ini masuk ke dalam jenis pertunjukan seni tari daerah.
Penari disebut pepadu yaitu orang yang akan mengadu kekuatan dalam arena pertarungan peresean.
Baca juga: Bau Nyale dan Pelajaran Berharga dari Putri Mandalika
Pepadu akan diberi senjata berupa rotan yang disebut penjalin sebagai alat pemukul, dan sebuah tameng perisai berbentuk persegi yang bernama ende.
Dikutip dari laman resmi disbudpar.ntbprov.go.id, para pepadu hanya akan mengenakan celana yang dibalut dengan kain penutup khas Lombok dan mengenakan ikat kepala.
Baca juga: Cerita Putri Mandalika dari Kerajaan Lombok dan Tradisi Bau Nyale
Keduanya pun tidak mengenakan baju atau atasan dan hanya akan bertelanjang dada.
Para pepadu akan mulai beradu kekuatan dengan iringan suara musik tabuhan dengan diawasi oleh seorang wasit peresean yang dikenal dengan nama pekembar.
Terdapat dua pekembar yang berada pada suatu peresean yaitu pekembar sedi di luar arena dan pekembar tengah di tengah arena.
Jika salah satu pepadu mengeluarkan darah maka akan dianggap kalah, sehingga pemenang bisa langsung ditentukan.
Sementara jika dalam lima ronde belum ada pepadu yang kalah, maka keputusan siapa pemenangnya berada di tangan para pekembar.
Sejarah peresean adat Lombok ternyata tidak sekadar menjadi aksi adu kekuatan namun memiliki nilai-nilai dan maksud tersendiri.
Selain sebagai bagian dari pertunjukan, sejarah peresean Suku Sasak tak lepas dari maksud dilaksanakannya tradisi ini pada zaman dahulu.