KOMPAS.com - Sekitar satu bulan jelang Ramadan, masyarakat Jawa di beberapa daerah menggelar nyadran.
Tradisi ini biasa diadakan pada bulan Ruwah (menurut kalender Jawa) atau Syakban (dalam penanggalan Hijriah).
Sebelum adanya pandemi Covid-19, prosesi ini dilakukan beramai-ramai oleh warga.
Acara ini tak sebatas berziarah ke makam leluhur, tetapi juga menjadi ajang berkumpul dan mempererat kebersamaan dengan anggota keluarga dan antarwarga.
Dalam nyadran, terkandung pula rasa saling berbagi antarsesama.
Tradisi ini dimaknai juga sebagai ucapan syukur terhadap Tuhan atas segala berkat yang diberi.
Baca juga: Tradisi Nyadran, Semakin Banyak Menjamu Tamu, Rezeki Dipercaya Kian Lancar
Contohnya seperti warga di Dusun Tunggulsari, Desa Sukabumi, Cepogo, Boyolali, Jawa Tengah.
Saat menjalani tradisi nyadran, para warga di lereng Gunung Merapi-Merbabu ini turut membawa tenong berisi makanan.
Makanan itu disantap usai prosesi doa bersama. Setiap yang hadir, dipersilakan mengambil makanan dari tenong yang tersedia.
Warga Tunggulsari percaya apabila makanan yang mereka sajikan di tenong habis disantap warga, rezeki akan lancar menghampiri.
"Kalau habis ya rezeki lancar, dari nenek moyang begitu," tutur salah satu warga, Warjo, dikutip dari pemberitaan Kompas.com, 25 Mei 2016.
Tradisi nyadran di Cepogo ini kemudian dilanjutkan dengan bersilaturahmi antartetangga.
Baca juga: Tradisi Surak, Berbagi Kebahagiaan dalam Kepingan Uang Receh