Dalam jurnalnya, Tradisi Sambatan dan Nyadran di Dusun Suruhan, Choerul Anam yang mengutip penelitian Tri Handayani berjudul Tradisi Nyadran dan Perubahan Studi Kasus di Desa Daleman, Jurangjero, menuturkan bahwa nyadran erat kaitannya dengan tradisi Hindu-Buddha.
Dalam tradisi Hindu-Buddha terdapat tradisi serupa bernama craddha.
Sewaktu masuknya Islam pada abad ke-13 yang disebarkan oleh Wali Songo, para wali memasukkan unsur dakwah pada tradisi tersebut.
Baca juga: Asal-Usul Kebo Bule, Hewan Milik Keraton Surakarta yang Dianggap Keramat
Ini dimaksudkan supaya masyarakat lebih mudah menerima Islam, sekaligus agar tidak berbenturan dengan kepercayaan yang sudah lebih dulu ada.
Titi Mumfangati dalam Tradisi Ziarah Makam Leluhur pada Masyarakat Jawa menerangkan, tradisi craddha tidak dihilangkan oleh para wali, melainkan diselaraskan dengan ajaran Islam.
Jika dulunya craddha menggunakan puji-pujian, dalam nyadran hal tersebut diganti dengan membaca ayat Al-Qur’an, tahlil, dan doa.
Sedangkan bila dulunya memakai sesaji, wali mengadaptasinya menjadi makan bersama yang disebut selamatan atau kenduri.
Baca juga: Menilik Asal-usul Nama Kampung di Yogyakarta