KULON PROGO, KOMPAS.com — Panas musim kemarau yang berkepanjangan membuat kekeringan di beberapa wilayah Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mata air mati, sungai tidak mengalir. Warga di beberapa dusun mengeluh dan terpaksa minta bantuan air bersih.
Cuaca panas memang menyulitkan banyak warga. Kondisi serupa tidak berlaku bagi perajin gerabah di Dusun Senik, Desa Bumirejo, Kecamatan Lendah. Semakin menyengat malah membuat gerabah yang masih berupa tanah liat basah itu menjadi cepat kering setelah dijemur.
Perajin pun bisa semakin banyak menghasilkan gerabah, menjualnya di pasar-pasar tradisional, dan untung pun mengalir deras.
“Musim panas membuat pekerjaan lebih cepat. Pengaron ini setengah jam saja selesai, tapi kalau benar kering harus dijemur satu minggu,” kata Sarni, 46 tahun, salah satu perajin gerabah di rumahnya di Dusun Senik, Sabtu (7/9/2019).
Baca juga: 5 Fakta Mbah Sarmi, Pembuat Gerabah sejak Zaman Penjajahan Belanda
Sarni lebih banyak menghasilkan pengaron yang berukuran sepelukan orang dewasa. Bentuknya yang seperti bejana membuat kebanyakan warga memakai pengaron untuk menampung air.
Sarni berasal dari Temanggung, Jawa Tengah. Ia memperoleh keterampilan itu dari ibu mertuanya. Peralatan dan bahannya sederhana, dari meja putar, tanah liat basah, air, dan lap.
Baru setengah hari, ia sudah menyelesaikan 8 pengaron tanah liat basah. Semuanya masih harus dijemur di bawah terik matahari.
Para perajin gerabah tradisional seperti ini bekerja dengan mengandalkan cuaca. Sarni menceritakan, cuaca panas di musim kemarau ini membuat gerabah kering maksimal sebelum masuk ke pembakaran. Ia memasukkan ke pembakaran 1-2 minggu sekali.
Baca juga: Cerita Perempuan Perajin Gerabah di Bireuen yang Jadi Andalan Keluarga
Pekerjaan jadi semakin banyak pada masa musim hujan. Gerabah tanah liat belum tentu mengering benar sampai 1 bulan. Itu terasa sangat lama.
Pembakaran gerabah juga jadi soal. Perajin biasa membakar gerabah dengan bahan bakar kayu bakar. Karena hujan, mereka harus lebih dulu menjemur kayu bakar sampai kering benar.
“Kalau musim hujan malah bisa tidak kerja,” katanya.
Baca juga: Upaya Cirebon Membangun Desa Wisata Gerabah ala Kasongan
Dalam satu kali membakar, Sarni bisa menghasilkan 100 gerabah beragam jenis. Hasil dari gerabah dirasa lumayan. Dalam satu kali pembakaran, ia mengatakan, pabrik pembakarannya bisa menghasilkan gerabah senilai Rp 800.000-Rp 900.000.
Bayangkan nilainya yang berlipat ganda dari awal hanya tanah lempung sebanyak 1 kendaraan pikap seharga Rp 250.000.
“Susah nek rendeng niku. Nek ketigo niki lumayan setitik,” kata Sarni untuk menyatakan bagaimana susahnya pada musim hujan, tapi ketika kemarau justru lebih banyak rezeki.