Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Bedebatlah dengan Bahasa Rakyatnya, karena yang Dipimpin Itu Rakyat Indonesia"

Kompas.com - 16/09/2018, 09:46 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com - Ketua DPD Golkar Jawa Barat Dedi Mulyadi mengkritik wacana debat calon presiden menggunakan bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Dia mengatakan bahwa rakyat Indonesia itu bukan bangsa Arab atau Inggris.

"Jadi jangan ribut urusan debat Bahasa Inggris ataupun Arab, berdebatlah dengan bahasa rakyatnya karena yang dipimpin itu rakyat Indonesia," kata Dedi kepada Kompas.com, Sabtu (15/9/2018).

Menurut Dedi, kalau ingin menjadi pemimpin Indonesia yang mengerti budayanya sendiri, debat capres bisa dengan beragam bahasa daerah. Kalau perlu lengkap dengan baju daerahnya.

"Misalnya, debat dengan bahasa Sunda pakai iket kepala dan pangsi. Debat dalam bahasa bugis pakai baju khas bugis," katanya.

Lanjut Dedi, pemimpin itu bukan sekadar harus memahami bahasa asing sebagai bahasa pergaulan internasional, tetapi juga harus mengerti budayanya agar tidak salah dalam kebijakan.

"Dia harus mengerti bahasa rakyatnya. Yang mengerti bahasa rakyatnya itu adalah pertama bahasa dialektika bahasa daerahnya. Kedua keinginannya dari mulai bahasa tubuh dan budayanya. Karena kita hidup bukan dari orang asing. Kita hidup dari kekayaan dan kebudayaan yang kita miliki," tandas budayawan asal Jawa Barat ini.

Baca juga: Khofifah: Debat Capres dalam Bahasa Inggris, yang Paham Siapa?

Dedi mengatakan, seorang pemimpin disebut mencintai Indonesia harus diuji tentang pemahaman budayanya. Misalnya, pemimpin itu dia berasal dari mana, keluarganya dari suku mana. Kalau suku Sunda bisa diuji kesundaannya. Dari suku bugis bisa diuji bahasa bugisnya.

"Kalau ternyata dia tidak bisa dan tidak pernah mempelajari bahasa leluhurnya, berarti kecintaan terhadap Indonesianya hanya kamuflase," tegas mantan bupati Purwakarta dua periode ini.

Kepercayaan diri

Terkait bahasa, Dedi memandang bangsa Indonesia mengalami krisis kepercayaan diri. Bangsa Indonesia lebih menyukai bahasa dan budaya asing ketimbang milik sendiri.

Dedi mengatakan, belajar dari orang Arab, China dan Jepang, mereka di manapun berada memahami dan menguasai budaya leluhurnya. Mereka memiliki kepercayaan diri yang sangat tinggi terhadap budayanya sendiri. Bahkan produk-produk China dan Jepang rata-rata menggunakan bahasa mereka sendiri.

"Selama ini problem kita ini adalah bahwa negara kita kaya, tetapi hanya senang pada materi kekayaannya. Tapi materi kebudayaannya kita tidak pernah peduli," katanya.

"Di Papua kita hanya mau ambil emas dan pajak, tetapi melindungi sukunya kita agak lemah. Di berbagai daerah juga sama," lanjut Dedi.

Baca juga: Prabowo Tak Sepakat Debat Capres Pakai Bahasa Inggris

Dedi juga menilai, ada logika yang salah bahwa berbicara bahasa Inggris bisa meningkatkan kewibawaan dan menunjukkan kepintaran. Menurutnya, logika itu menyesatkan.

"Soal kewibawaan di mata internasional, 32 tahun Pak Harto (mantan Presiden Soeharto) memimpin tidak pernah menggunakan bahasa Inggris tetapi tidak kehilangan kewibawaan," katanya.

"Tidak selalu orang yang bisa Bahasa Inggris itu pintar. Di Inggris, orang tidak naik kelas tetap bisa bahasa Inggris," lanjut Dedi lantas tertawa.

Kompas TV Koalisi Prabowo-Sandiaga Uno mengusulkan debat capres - cawapres menggunakan Bahasa Inggris.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com