Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Susi, Honor Rp 200.000 Mengajar 6 Kelas Anak-anak Perbatasan Seorang Diri

Kompas.com - 12/02/2018, 12:15 WIB
Sukoco,
Amir Sodikin

Tim Redaksi

NUNUKAN, KOMPAS.com – Suaranya sedikit tenggelam di antara keributan anak-anak didik yang berada di ruang sebelah yang sedang menunggu giliran diajar. Dia adalah Susi Susanti (22), guru di SD filial 004 Seimenggaris, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.

Susi menjadi satu satunya guru yang masih bertahan memberikan bekal masa depan kepada puluhan anak anak eks-TKI dari Malaysia itu. 

Ruangan kelas itu hanya memiliki 6 meja belajar yang terbuat dari kayu yang dibuat oleh masyarakat setempat. Siswa harus duduk berhimpit, satu bangku berisi 3 siswa.

Meski hanya berukuran 4 X 4 meter, di ruang tersebut menampung siswa dari 3 kelas, yaitu kelas 1, kelas 2, dan kelas 3. Jika masuk semua siswanya masuk sekolah, satu bangku bisa ditempati lebih dari 3 anak.

Begitu pun dengan ruang kelas di sebelahnya yang dihuni siswa kelas 4, kelas 5, dan kelas 6. Hal yang membedakan hanya jenis papan tulis yang digunakan kelas 6 menggunkan spidol.

Keterbatasan ruang membuat Susi Susanti, lulusan SMA yang sudah 4 tahun terakhir mengabdikan diri mengajar di SD filial 004 Seimenggaris, menggabung 3 kelas dalam satu ruangan. Ruangan pertama menampung kelas 1 sampai kelas 3, sementara ruang sebelahnya berisi siswa kelas 4 hingga kelas 6.

Susi seorang diri yang harus mengajar 6 kelas dalam waktu bersamaan. ”Kelas digabung, karena kita hanya punya 2 ruang kelas. Sejak dibangun memang hanya ada 2 ruang kelas,” ujarnya ketika Kompas.com berkunjung bersama rombongan anggota DPRD Nunukan, Jumat (09/2/2018) lalu.

Siang itu Susi Susanti, mengenakan baju warna hijau yang dibalut dengan jaket warna putih serta kerudung warna coklat. Ia tampak mengenakan sandal jepit, pakaian kerja yang sehari hari dikenakan saat mengajar.

Susi dengan sabar mengajari anak-anak, ia terlihat lebih lama memberi penjelasan soal pelajaran berhitung kepada kelas 2. Sementara di bangku yang bersebelahan, siswa kelas 1 sedang mencoba menulis huruf.

Karena hanya memiliki 2 papan tulis, biasanya dia menulis soal untuk 2 kelas di papan tulis kemudian menjelaskan pelajaran untuk satu kelas. Namun, tugasnya hari ini lebih berat karena kapur tulis yang biasa digunakan untuk membuat soal di papan tulis habis sejak 2 hari lalu.

Dia mengaku tidak bisa membeli kapur tulis di toko yang berada kawasan perusahaan yang jaraknya lebih dari 3 kilometer dari sekolah, karena selain jalan yang berlumpur akibat diguyur hujan, juga karena usia kehamilannya yang sudah 7 bulan.

Tidak bisa mencatat soal di papan tulis membuat Susi hanya bisa menerangkan pelajaran secara bergantian kepada setiap kelas, sementara siswa mencatat di buku masing–masing sebelum beranjak ke ruang sebelahnya di mana siswa kelas 4 hingga 6 sudah menunggu.

Meski usai janin dalam kandungannya masuk bulan ke-7, dia terlihat masih gesit berpindah ruangan.

Susi Susanti merupakan satu satunya guru yang masih bertahan mengajar di SD Filial 004 Seimenggaris yang didirkan pada tahun 2012. Saat didirikan, SD tersebut memiliki 4 orang guru.

Pada awalnya, sekolah tersebut berada di bawah kolong rumah warga yang bersebelahan dengan kandang sapi milik warga. Tahun 2013, pemerintah desa memalui PNPM kemudian merehab bangunan sekolah dari kayu menjadi berdinding tembok.

Namun seiring perjalanan waktu, satu per satu para guru meninggalkan sekolah karena berbagai alasan.

Ketiga rekannya ada yang beralasan memilih mencari pekerjaan lain karena mengaku tidak mendapat gaji selama mengajar, ada yang memilih mengurus anak karena lokasi sekolah yang terlalu jauh, dan ada yang pindah mengajar ke sekolah yang bisa memberikan gaji yang lebih layak.

Salah satu guru, Rustam, mengaku bukan berhenti mengajar, tapi memilih rehat sementara sampai pemerintah daerah bisa menggaji mereka. Selama mengajar sejak tahun 2013, dia mengaku tak mendapat gaji seperti yang dijanjikan dengan alasan anggaran belum turun.

Dia akhirnya memilih bertanam sayur untuk menghidupi keluarga yang diboyong dari Pulau Sulawesi. “Janjinya mau di gaji Rp 200.000 per bulan tapi sampai sekarang tidak ada. Kalau pemerintah sudah memerhatikan, saya fokus di sini. Sementara kami cari kerja lain,” ucapnya.

Sementara, Susi Susanti sendiri memilih bertahan mengajar karena satu-satunya guru yang tertinggal hanya dirinya. Susi mengaku mendapat honor Rp 200.000 per bulan yang diberikan tidak ada ketentuan waktunya.

Tahun 2017 lalu dia mengaku honor diberikan secara rapel 2 kali pembayaran dalam setahun. Honor Rp 200.000 menurutnya tida cukup untukmengganti biaya bensin motor pulang pergi ke sekolah karena jarak rumahnya lebih dari 3 kolometer dari sekolah.

“Biaya bensin sebulan pulang-balik 20 liter sudah Rp 250.000, ” ucapnya.


Halanan berikutnya: Jalan tanah berlumpur


Ketua DPRD Nunukan Dani Iskandar (paling kanan) langsung mendatangi sekolah filial di Desa Samaendre Semaja yang hanya memiliki satu orang guru. Susi Susanti, satu-satunya guru yang bertahan di sekolah tersebut, saat ini hamil 7 bulan. Dia khawatir terhadap persiapan siswa kelas VI yang harus menghadapi ujian akhir sekolah.KOMPAS.com/SUKOCO Ketua DPRD Nunukan Dani Iskandar (paling kanan) langsung mendatangi sekolah filial di Desa Samaendre Semaja yang hanya memiliki satu orang guru. Susi Susanti, satu-satunya guru yang bertahan di sekolah tersebut, saat ini hamil 7 bulan. Dia khawatir terhadap persiapan siswa kelas VI yang harus menghadapi ujian akhir sekolah.
Jalan tanah berlumpur

Untuk menuju Desa Samaenre Semaja dibutuhkan waktu lebih dari 3 jam dari ibu kota Kabupaten Nunukan. Dari Pelabuhan Pos Lintas Batas Laut Liem Hie Djung, warga harus menggunakan moda transportasi speedboat menuju Dermaga Sei Ular yang akan melewati 2 pos penjagaan wilayah perbatasan.

Pos pertama merupakan pos milik aparat Pemerintah Malaysia di Tanjung Kayu Mati. Pos kedua yang akan dilewati adalah pos Satuan Tugas Pengamanan Wilayah Perbatasan Satgsa Pamtas RI – Malaysia Sei Kaca.

Dari PLBL Liem Hie Djung dibutuhkan waktu kurang lebih 20 menit menuju Sei Ular. Dari Dermaga Sei Ular, perjalanan akan dilanjutkan dengan menggunakan mobil carteran karena tidak ada angkot regular menuju Desa Samaenre Semaja.

Jika tidak mencarter, warga biasanya berjalan kaki dari jalan aspal terakhir menuju perkampungan mereka yang berjarak kurang lebih 5 kilometer. Bila beruntung, warga bisa menumpang truk pengangkut kelapa sawit yang lewat sehingga tidak perlu bersusah payah melintasi jalan tanah yang dipastikan berlumpur jika hujan mengguyur.

Untuk menyewa kendaraan juga harus dipastikan kendaraan tersebut berjenis offroad agar bisa sampai di perkampungan yang memiliki 282 kepala keluarga tersebut. Dari Sei Ular dibutuhkan waktu 1 hingga 2 jam sebelum melihat masjid sebagai tanda masuk perkampungan Desa Samaenre Semaja jika cuaca tidak hujan.

Jika hujan bisa dipastikan membutuhkan waktu lebih karena mobil dipastikan akan sering tergelincir di sepanjang jalan karena jalan tanah yang berlumpur.

Buruknya infrastruktur jalan membuat puluhan anak-anak di desa terebut kesulitan bersekolah. Mereka memilih membantu orangtua mereka di rumah.

Kepala Desa Samaenre Semaja, Farida, mengatakan, rumah warga terjauh letaknya 5 kilometer dari sekolah. “Usia mereka sudah masuk masa sekolah, tapi karena jalan licin dan berlumpur kalau hujan membuat mereka kesulitan ke sekolah,” ujarnya.

SD Filial 004 Seimnggaris merupakan satu-satunya harapan para orangtua menyekolahkan anaka-anak mereka. Salah satu orangtua siswa, Ambo, mengaku sejak kecil mereka tidak pernah mengenal bangku sekolah karena begitu menginjak usai remaja langsung bekerja di Malaysia sebagai buruh sawit.

Delapan tahun terakhir, Ambo mengaku memilih pulang ke Indonesia dan membuka kebun sawit di desa tersebut. Dia berharap melalui sekolah SD filial, anaknya bisa melanjutkan hingga perguruan tinggi nantinya.

“Kalau gurunya tidak ada, saya minta sabar ke anak saya karena itu satu-satunya guru di sini, rumahnya jauh, sedang hamil juga. Harapan saya, anak saya bisa sekolah sampai kuliah nanti,” katanya.

Sementara, orangtua siswa lain, Rafael, mengaku warga sebetulnya mau saja membantu kekurangan yang dialami pihak sekolah, namun sebagian orangtua siswa takut menyalahi aturan.

Menurutnya, warga sangat berharap atas keberadaan SD Filial tersebut demi masa depan anak mereka, karena sekolah dasar negeri terdekat berada kurang lebih 10 kilometer dari desa mereka.

“Sekolah ini harapan kami satu-satunya agar anak kami bisa pandai. Kami berharap pemerintah bisa menambah guru yang mengajar di sini,” ucapnya.

Dengan keterbatasan ruang sekolah, bangku, dan guru, namun siswanya kreatif dan mandiri untuk belajar. Nabila, salah satu siswa kelas 6, misalnya, dia mampu memelajari bahasa Inggris dengan baik meski tidak diajarkan di sekolah.

Dengan berbekal listrik dari diesel milik tetua desa yang disalurkan kepada warga, Nabila mengaku mengunduh materi pelajaran yang tidak bisa diberikan di sekolah. Listrik di desa itu hanya menyala dari pukul 6 sore sampai pukul 10 malam, 

Siswi yang bercita-cita menjadi polisi wanita tersebut beberapa bulan ke depan harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian akhir sekolah. “Saya juga bingung kalau ibu guru mau cuti melahirkan, bagaimana dengan persipaan kami yang mau ujian?” ujarnya.

Bunyi besi tua yang dipukul dengan batu seadanya menandai berakhirnya kegiatan belajar di SD Filial 004 Seimenggaris hari itu. Meski tak banyak perabot sekolah yang dimilik, Susi Susanti berusaha merapikan kembali buku-buku pelajaran sekolah ke rak kayu yang mulai usang.

Ada satu kegamangan yang dipikirkan ibu satu anak ini terhadap nasib siswanya. Bagaimana siswanya yang kelas 6 menghadapi ujian jika bulan depan dia harus cuti untuk melahirkan?

Ujian akhir sekolah rencananya akan dilaksanakan antara bulan April atau Bulan Mei 2018.  “Masalah ini sudah kami upayakan disampaikan kekepala sekolah tempat kami menginduk, tapi beliau sakit. Saya juga tidak tahu bagaimana nasib mereka nanti kalau saya cuti melahirkan,” ujarnya.

Meski dihadapkan dengan berbagi kekurangan, Susi Susanti mengaku akan tetap mengajar siswa-siswi tunas bangsa yang berada di wilayah perbatasan tersebut usai cuti melahirkan. Dia mengaku, akan secepatnya mengajar bila anak keduanya nanti telah lahir dan bisa dibawa serta menuju sekolah.

“Secepatnya saya akan mengajar meskipun mungkin usia bayi saya nanti 5 bulan, yang penting bisa saya ajak pergi mengajar. Anak saya yang pertama juga usia 5 bulan sudah saya ajak mengajar,” ucapnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com