Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berjualan Bunga Sejak Zaman Penjajahan Belanda, Mbah Suriyat Mengaku Capai

Kompas.com - 17/10/2017, 16:50 WIB
Kontributor Banyuwangi, Ira Rachmawati

Penulis

BANYUWANGI, KOMPAS.com - Mbah Suriyat terlihat baru bangun tidur ketika Kompas.com mengunjunginya, Selasa (17/10/2017).

Sambil merapikan rambutnya yang memutih, dia mempersilakan Kompas.com masuk ke rumahnya yang sederhana di Desa Lemahbang, Kecamatan Singonjuruh.

"Semalaman saya motong daun pandan dan diambil tadi pagi. Jadi siang istirahat. Sudah tua nggak bisa kayak dulu lagi. Sekarang capek sedikit ya berhenti," katanya sambil tersenyum.

Mbah Suriyat bercerita, pekerjaannya sebagai penjual kembang kirim sudah dilakoninya sejak zaman penjajahan.

Awalnya, Suriyat muda baru saja bercerai dengan suaminya. Ia kemudian ikut membantu seorang kerabatnya di sawah. Saat pulang, dia sengaja mengambil bibit pandan untuk ditanam di rumahnya. Tidak disangka, pandan yang ditanamnya tumbuh subur.

Ia kemudian menanam berbagai macam kembang di latar belakang rumahnya seperti kembang kenanga, melati, mawar, pacar banyu, kembang wongso dan jenis kembang lainnya yang biasa digunakan untuk "nyekar" di kuburan.

"Kemudian ada yang beli katanya buat nyekar ke makam ibunya atau keluarganya. Saya layani satu bungkus, dua bungkus dan sampai sekarang saya sudah pindah rumah tetap saja jualan kembang. Kembang yang dibuat nyekar biasanya disebut kembang kirim," jelasnya.

Mbah Suriyat sendiri mengaku tidak ingat kapan dilahirkan. Namun dia bercerita sudah berjualan kembang kirim sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang.

"Saat saya sudah jualan kembang kirim, saya pakai baju dari bahan karung goni. Itu zaman Jepang. Kalau Zaman Belanda, saya ingat sapi bapak saya dibawa pergi sama orang suruhan Belanda. Padahal besar sapinya," jelas perempuan yang masih terlihat gesit walaupun di usia yang sudah senja.

Baca juga: Pak Dar, Kakek Tukang Becak yang Kerap Sabet Juara Lari di Ajang Internasional

Pada masa itu, kembang kirim yang dia jual dihargai satu sen, dan itu sudah dianggap sangat mahal bagi Mbah Suriyat. Sekarang untuk satu plastik kecil kembang kirim dihargai Rp 1.000. Biasanya pelanggan membeli pada saat malam Jumat legi untuk nyekar di makam leluhur pada Kamis sore atau hari Jumat.

"Kalau pas malam Jumat legi biasanya saya dapat 200.000 rupiah. Kalau malam Jumat biasa ya 100.000 rupiah. Uangnya saya tabung kadang buat cucu-cucu keponakan," ungkapnya.

Dia sendiri yang mengiris pandan tipis-tipis untuk campuran kembang kirim, termasuk memanen bunga-bunga untuk malam Jumat legi. Hal itu dilakukan karena dia sayang jika uangnya digunakan untuk membayar orang lain untuk membantunya.

"Daripada untuk mbayar orang buat bantu mending saya kerjakan sedikit-sedikit," katanya.

Di dalam rumahnya, terlihat ada tumpukan daun pandan dan beberapa pisau untuk mengiris daun pandan. Menurutnya, dia sengaja menyiapkan beberapa jenis pisau agar bisa ganti-ganti pisau jika tangannya terasa panas karena terlalu lama mengiris daun pandan.

Tinggal di lahan PT KAI

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com