Salin Artikel

Berjualan Bunga Sejak Zaman Penjajahan Belanda, Mbah Suriyat Mengaku Capai

Sambil merapikan rambutnya yang memutih, dia mempersilakan Kompas.com masuk ke rumahnya yang sederhana di Desa Lemahbang, Kecamatan Singonjuruh.

"Semalaman saya motong daun pandan dan diambil tadi pagi. Jadi siang istirahat. Sudah tua nggak bisa kayak dulu lagi. Sekarang capek sedikit ya berhenti," katanya sambil tersenyum.

Mbah Suriyat bercerita, pekerjaannya sebagai penjual kembang kirim sudah dilakoninya sejak zaman penjajahan.

Awalnya, Suriyat muda baru saja bercerai dengan suaminya. Ia kemudian ikut membantu seorang kerabatnya di sawah. Saat pulang, dia sengaja mengambil bibit pandan untuk ditanam di rumahnya. Tidak disangka, pandan yang ditanamnya tumbuh subur.

Ia kemudian menanam berbagai macam kembang di latar belakang rumahnya seperti kembang kenanga, melati, mawar, pacar banyu, kembang wongso dan jenis kembang lainnya yang biasa digunakan untuk "nyekar" di kuburan.

"Kemudian ada yang beli katanya buat nyekar ke makam ibunya atau keluarganya. Saya layani satu bungkus, dua bungkus dan sampai sekarang saya sudah pindah rumah tetap saja jualan kembang. Kembang yang dibuat nyekar biasanya disebut kembang kirim," jelasnya.

Mbah Suriyat sendiri mengaku tidak ingat kapan dilahirkan. Namun dia bercerita sudah berjualan kembang kirim sejak zaman penjajahan Belanda dan Jepang.

"Saat saya sudah jualan kembang kirim, saya pakai baju dari bahan karung goni. Itu zaman Jepang. Kalau Zaman Belanda, saya ingat sapi bapak saya dibawa pergi sama orang suruhan Belanda. Padahal besar sapinya," jelas perempuan yang masih terlihat gesit walaupun di usia yang sudah senja.

Pada masa itu, kembang kirim yang dia jual dihargai satu sen, dan itu sudah dianggap sangat mahal bagi Mbah Suriyat. Sekarang untuk satu plastik kecil kembang kirim dihargai Rp 1.000. Biasanya pelanggan membeli pada saat malam Jumat legi untuk nyekar di makam leluhur pada Kamis sore atau hari Jumat.

"Kalau pas malam Jumat legi biasanya saya dapat 200.000 rupiah. Kalau malam Jumat biasa ya 100.000 rupiah. Uangnya saya tabung kadang buat cucu-cucu keponakan," ungkapnya.

Dia sendiri yang mengiris pandan tipis-tipis untuk campuran kembang kirim, termasuk memanen bunga-bunga untuk malam Jumat legi. Hal itu dilakukan karena dia sayang jika uangnya digunakan untuk membayar orang lain untuk membantunya.

"Daripada untuk mbayar orang buat bantu mending saya kerjakan sedikit-sedikit," katanya.

Di dalam rumahnya, terlihat ada tumpukan daun pandan dan beberapa pisau untuk mengiris daun pandan. Menurutnya, dia sengaja menyiapkan beberapa jenis pisau agar bisa ganti-ganti pisau jika tangannya terasa panas karena terlalu lama mengiris daun pandan.

Tinggal di lahan PT KAI

Di usianya yang sudah tua, Mbah Suriyat tinggal seorang diri di lahan milik PT Kereta Api Indonesia. Dari pernikahannya yang gagal, Mbah Suriyat tidak memiliki keturunan. Rumah warisan orangtuanya juga telah dijual.

"Saya dapat izin tinggal di lahan punya kereta api. Rumahnya juga dibangunkan sama orang-orang sini," jelasnya.

Ia kemudian mengajak Kompas.com melihat tanaman yang ditanamnya di lahan kosong dekat tempatnya tinggal di seberang rel kereta api. Ada banyak jenis kembang yang dia tanam, termasuk juga kembang jambe dan juga kelapa.

Kembang Jambe dan kembang kelapa biasanya untuk pelengkap jika ada pernikahan. Sementara di depan tempat tingganya, ada pohon kembang Kantil (cempaka putih) yang tinggi dan rindang.

Beberapa kembang kantil terlihat mekar dan mengeluarkan aroma wangi. Dia mengaku lahan tersebut adalah lahan kosong, dan oleh masyarakat sekitar ia diizinkan untuk menanaminya dengan berbagai macam tanaman kembang.

"Daripada lahannya kosong, apa saja saya tanam, asalkan menghasilkan kembang dan bisa saya jual. Sudah izin yang punya lahan," jelasnya.

Di hari-hari biasa, jika ada yang membeli kembang, Mbah Suriyat akan meminta pembeli untuk langsung memetik sendiri karena dia sendiri sudah tidak begitu kuat. Dia hanya melayani langsung pembelian untuk malam Jumat legi.

Biasanya, pelanggan sudah pesan jauh-jauh hari agar tidak kehabisan kembang kirim. Namun saat musim kemarau atau musim hujan terus-menerus, Mbah Suriyat mengaku tidak banyak memanen kembang yang mekar karena rusak.

"Seperti sekarang. Jarang ada kembang yang mekar. Kalau musim gini ya dijual, yang ada saja seperti kembang kantil itu. Tiga kuntum ada yang beli 10.000," tambahnya.

Dengan mata berkaca-kaca, Mbah Suriyat mengaku ingin berhenti bekerja berjualan kembang karena badannya sudah sakit-sakitan. Namun jika tidak bekerja, ia berpikir tidak ada yang menanggung kebutuhannya sehari-hari.

"Ada cucu keponakan tapi saya nggak enak kalau jadi beban mereka. Mereka sudah sering antar saya kalau periksa ke dokter. Jadi ya harus kerja. Tidak ada pilihan lain," katanya.

https://regional.kompas.com/read/2017/10/17/16501941/berjualan-bunga-sejak-zaman-penjajahan-belanda-mbah-suriyat-mengaku-capai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke