Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kami Jangan Dianggap Masyarakat Kelas Dua dalam Pemilu"

Kompas.com - 07/05/2017, 08:41 WIB
Sigiranus Marutho Bere

Penulis

KUPANG, KOMPAS.com - Menyandang status sebagai difabel tidak membuat Hermawan alias Iwan (52) merasa kecil hati, apalagi rendah diri.

Warga Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT), ini selalu optimistis dalam menjalani hidup. Sejumlah kegiatan di masyarakat pun ia jalani seperti halnya orang lain.

Hermawan merupakan pengelola dan Direktur Yayasan Pelita Harapan Disabilitas Flobamora, serta pengajar Bahasa Inggris di Yayasan Ganesa English Course, yang dijalaninya tanpa hambatan.

Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah itu memang mahir berbahasa Inggris. Maklum, Hermawan adalah jebolan University of Melbourne, Negara Bagian Victoria, Australia. Ia tinggal selama empat tahun di Negeri Kanguru itu.

Terkait dengan keterlibatan pemilih difabel dalam pemilihan umum di Indonesia, baik itu pemilihan legislatif, pemilihan presiden dan kepala daerah, Iwan punya pandangan sendiri.

Menurut Iwan, difabel belum sepenuhnya dilibatkan dalam proses pemilihan umum karena ada tiga faktor utama, yakni keluarga, aparat desa atau kelurahan, maupun pihak penyelenggara pemilihan umum (KPU).

(Baca juga: Kapolsek Gendong Warga Difabel yang Ingin Mencoblos)

Iwan mencontohkan, di tempatnya, keluarga enggan mengurus kartu tanda penduduk maupun berkas lainnya yang berkaitan dengan pemilu untuk para difabel.

Selain itu, untuk pengurusan KTP di desa atau kelurahan, pemilih difabel sering dipersulit. Bahkan, menurut Iwan, KPU di wilayahnya tidak berperan aktif untuk membantu difabel dalam pemilu.

Padahal kata Iwan, antusias komunitas difabel untuk mengikuti dan melibatkan diri dalam proses pemilu begitu tinggi. Sebab, mereka memiliki hak yang sama seperti warga lainnya.

"Saya mencontohkan di Kabupaten Belu, di sana data penyandang disabilitas untuk pemilu yakni 3.000 orang lebih, namun yang ikut mencoblos hanya 220 orang. Sehingga kita melihat ada sesuatu yang harus segera dibenahi dan dicarikan jalan keluar," kata Iwan, saat mengikuti kegiatan pelatihan panduan media untuk pemberitaan akses pemilu di Hotel T-More Kupang, Sabtu (6/5/2017).

Iwan pun berharap, pemilih difabel juga diberikan ruang yang sama seperti warga lainnya. Sehingga, tidak ada dikotomi atau jurang pemisah antara warga yang satu dengan lainnya.

"Kami jangan dianggap sebagai masyarakat kelas dua dan jangan tinggalkan kami. Karena kami seperti Anda semua," ucapnya.

(Baca juga: Parpol Diusulkan Usung Caleg Difabel Lebih dari 15 Persen)

Sementara itu di tempat yang sama, Ketua KPUD NTT Maryanti H Luturmas Adoe mengakui, hingga kini pihaknya belum mengetahui jumlah pemilih tetap dari komunitas difabel di NTT.

KPUD NTT, lanjut Maryanti, baru mengetahui data jumlah pemilih difabel dari 11 kabupaten dan 1 kota (21 kabupaten dan 1 kota di NTT), pada saat pemilihan kepala daerah serentak pada 2015 dan 2017.

Maryanti menyebutkan bahwa KPUD NTT juga tidak pernah memantau jumlah pemilih difabel yang ikut mencoblos saat pemilihan umum kepala daerah berlangsung.

KPUD NTT baru tahu jumlah pemilih difabel setelah ada perubahan dalam format C1 tentang sertifikat pemungutan suara.

"Di situ ditambah kolom penyandang disabilitas yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT), kemudian yang menggunakan hak pilih. Dari situ kami bisa mengetahui berapa jumlah penyandang disabilitas yang terdaftar dalam DPT dan berapa yang menggunakan hak pilih," kata Maryanti.

Ia pun berharap, pada pemilu 2018 ini pihaknya bisa mendapatkan data tentang jumlah pemilih difabel yang lebih lengkap di NTT.

Kompas TV Jakarta Tak Ramah bagi Para Difabel?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com