Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Profesor Asal Demak Ciptakan Alat Pendeteksi Pikun Melalui Riset di Malaysia

Kompas.com - 29/11/2016, 12:45 WIB
Kontributor Semarang, Nazar Nurdin

Penulis

SEMARANG, KOMPAS.com — Profesor Eko Supriyanto, pria kelahiran Desa Ngelo Wetan, Kecamatan Mijen, Kabupaten Demak, Jawa Tengah, membuat alat pendeteksi pikun atau alzheimer. Alat itu dibuat sejak 2010 lalu.

Selain membuat alat mengukur pikun, Eko juga telah membuat sejumlah karya lain dalam bidang kesehatan. Sejauh ini, dia mengaku telah mematenkan 42 karya terkait inovasi dalam bidang kesehatan yang diakui secara internasional.

“Ada 42 karya dengan hak paten inovasi. Kebanyakan di bidang kedokteran,” ujar guru besar Universitas Teknologi Malaysia ini di sela Seminar Internasional Pengembangan Inkubator, Science Center, dan Techno Park di Kota Semarang, Selasa (29/11/2016).

Temuan terbarunya antara lain boneka yang bisa mengukur perkembangan seorang anak. Sementara itu, temuan yang masih akan disempurnakannya adalah alat untuk memprediksi kapan seorang mendapat serangan jantung.

Eko mengatakan, untuk mengetahui kapan seorang terkena penyakit jantung, hal itu bisa dideteksi dengan cara, pertama, mengukur dari gejala genetik atau keturunan. Seseorang yang berjenis kelamin laki-laki dapat lebih mudah terkena sakit jantung. Kedua, deteksi dilakukan di seputar badan seorang, tekanan darah tinggi, mengecek kolesterol, dan gula darah.

“Soal badan itu yang dominan menyebabkan jantung. Ketiga, ukur gaya hidup. Gorengan itu merusak jantung. Minuman bersoda juga membahayakan. Namun, pada level kecil bagus, kalau kurang 10 mili itu bagus,” ujar dia.

Kemudian, pengaruh jantung juga bisa muncul melalui udara yang diserap di sekitar. Dia mengatakan, merokok di samping seorang secara tidak langsung akan membunuh orang itu.

“Merokok di sekitar kawan yang tidak merokok berarti membunuh kawannya itu. Lalu mental juga diukur, stres atau tidak. Lalu saya membuat rumus,” kata alumnus Institut Teknologi Bandung ini.

Kini, Eko didaulat menjadi ketua tim kelompok kerja (pokja) nasional komersialisasi teknologi Indonesia di Kementerian Perekonomian.

Dia berharap, temuannya bisa diserap Kementerian Kesehatan agar bisa bermanfaat bagi negeri ini. Pengalaman dari berbagai hak paten temuannya itulah yang membuatnya diminta berbagi kisah kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah.

“Saya berharap ini bisa menjadi alat dari kementerian untuk mendeteksi warganya. Sekali data masuk bisa direkam. Ini memang ramalan, tetapi difasilitasi dengan pembuktian secara ilmiah,” tambahnya.

Pria kelahiran Demak ini dulu menempuh studi di SD Ngelo Wetan, Mijen, Demak, lalu SMP di Kecamatan Mijen, dan SMA di Kota Magelang.

Selepas SMA, dia lalu masuk ke Institut Teknologi Bandung tahun 1993 dengan jurusan Teknik Elektro, lalu S-2 ITB dengan jurusan Teknik Kedokteran. Setelah lulus S-2, dia jadi dosen tidak tetap di sejumlah perguruan tinggi di Bandung dan Jakarta hingga melanjutkan jenjang S-3 di Jerman dengan beasiswa dari Pemerintah Jerman.

“Saya bantu juga di Kemenkes, mengawal bagaimana peralatan aman bagi kesehatan. Di Kemenkeu, (saya) bantu skema pendanaan penelitian agar lebih baik. Di Kemenristek, (saya) bantu pengembangan techno park,” ucapnya.

Karya Prof Eko tidak lepas dari dukungan kampusnya. Pihak dari Park Management dan Service Division Technology Park Malaysia, Shahazman Abu Samah, mengatakan, kampusnya memfasilitasi pengembangan teknologi, sedangkan Pemerintah Malaysia membantu pendanaan dalam bidang sains dan teknologi dengan memberi insentif.

Oleh karena itu, para peneliti, seperti Eko, bisa memiliki peluang untuk terus berkembang.

“Pemerintah kami sediakan bantuan keuangan, peralatan kepada yang berkemampuan,” kata dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com