Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Banggalah Menjadi Suku Pakpak...

Kompas.com - 14/11/2016, 15:26 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha

Penulis

MEDAN, KOMPAS.com – Suku Pakpak adalah suku besar yang mendiami wilayah Provinsi Sumatera Utara, mulai dari Barus di Kabupaten Tapanuli Tengah, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Dairi, hingga Kabupaten Pakpak Bharat.

Suku ini juga banyak ditemui di Kabupaten Singkil dan Kota Subulussalam, Aceh.

Selama masa pemerintahan Belanda hingga saat ini, suku ini dimasukkan ke subetnis suku Batak. Mereka menolak penggabungan ini karena merasa berbeda dalam banyak sisi dengan suku Batak.

Suku Pakpak terdiri dari lima suak, yaitu Suak Simsim, Kelasen, Keppas, Pegagan, dan Boang.

Hampir 90 persen Suak Simsim mendiami wilayah Kabupaten Pakpak Bharat. Kabupaten ini pada 28 Juli 2003 menjadi kabupaten mandiri dengan memisahkan diri dari Kabupaten Dairi.

Suak Simsim terdiri dari marga Berutu, Padang, Solin, Cibro, Sinamo, Boang Manalu, Manik, Banurea, Sitakar, Kabeaken, Lembeng, Tinendung, dan banyak lagi.

Mereka menetap dan memiliki hak ulayat di wilayah Suak Simsim, seperti di Salak, Situje, Situju, Kerajaan, Pergetteng-getteng Sengkut, Tinada dan Jambu, semuanya berada di Kabupaten Pakpak Bharat.

Berbeda jauh dari empat suak lain yang nyaris hilang dan tak lagi punya tanah di tempat lahirnya, suku Pakpak masih menunjukkan eksistensi.

Kedatangan suku-suku lain yang mencari permukiman baru, lalu menguasai ekonomi dan tanah, menyebabkan terjadi pergeseran adat dan budaya Pakpak.

Pun perkawinan antar-etnis yang banyak terjadi, menenggelamkan identitas suku Pakpak karena dominasi etnis lain.

"Suku Pakpak adalah suku yang penuh toleransi. Suku yang senang hidup berdampingan dengan orang lain, diam saat budaya lain mengubah dan menghilangkan identitas suku. Bahkan, mereka sampai terusir dari tanahnya sendiri di Dairi," kata Ketua DPRD Kabupaten Pakpak Bharat Sonni P Berutu, Minggu (13/11/2016).

Baginya, ini sebuah ancaman terhadap eksistensi Suku Pakpak. Sebagai generasi penerus yang khawatir akan kepunahan budaya Pakpak, Sonni dan bersama anggota dewan lainnya, akademisi, dan para tetua adat mengajukan satu aturan yang melindungi adat istiadat dan budaya serta peninggalan bersejarah suku Pakpak.

Gayung bersambut. Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolanda Berutu mendukung penuh dan menyetujui lahirnya Peraturan Daerah (Perda) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Pakpak pada 11 Juli 2016.

"Ini juga janji pribadi saya terhadap suku Pakpak, saya akan menerbitkan perda terkait budaya. Begitu saya dilantik jadi Ketua DPRD, sebulan kemudian saya inisiasi perda ini," ucap Sonni saat ditemui di rumah dinasnya.

Ronni menilai perda ini sangat penting. Menurut ayah tiga anak ini, suku Pakpak dengan jumlahnya yang besar masih ragu-ragu dan malu menunjukkan jati dirinya.

Banyak suku Pakpak "menjual" marga dan tidak memakai bahasa ibu. Sering ditemuinya, di satu keluarga suku Pakpak malah menggunakan bahasa suku lain.

Selain itu, semangat kedaerahan suku Pakpak tidak sekuat suku tetangga, seperti suku Karo atau suku Batak Toba.

"Sedih kita, kalau bahasa nasional masih diterima. Ini yang mendasari, waduh bahaya ini, suku Pakpak begitu besar tapi terancam," kata Sonni dengan mimik terlihat begitu berduka.

Setelah Perda Pelestarian dan Pengembangan Budaya Pakpak, Pemkab Pakpak Bharat kembali mengeluarkan perda tentang Lembaga Adat Sulang Silima Marga-marga Pakpak Suak Simsim.

Fungsinya menjadi koordinator dan fasilitator lembaga-lembaga adat marga di Pakpak Bharat untuk mendukung kerja pemerintah daerah.

Kelemahan perda ini dan perda-perda lain di seluruh Indonesia adalah tidak adanya sanksi hukum. Meski mewajibkan menggunakan adat dan budaya Pakpak di setiap kegiatan, tetapi tidak bisa berbuat apa-apa ketika misalnya satu keluarga yang melakukan pesta pernikahan beda etnis dan memakai adat suku pendatang.

"Semua regulasi seperti ini. Bicara sanksi hukum, sanksi pidana, ketika tidak dilaksanakan akan diberikan sanksi sesuai peraturan yang berlaku. Entah apa peraturannya?" kata Sonni sambil tertawa.

Kembali Sonni dan rekan-rekannya di DPRD mencari referensi yang bisa mendukung penguatan-penguatan perda itu. Mungkin nanti, bisa menggunakan sanksi sosial bagi pelanggar aturan dan mengeluarkan pedoman tata cara adat yang menjadi acuan marga-marga suak Simsim.

Saat ini legislatif sedang menggodok rancangan perda soal tanah ulayat, marga-marga Pakpak Simsin dan menginventarisi aset-aset milik suku.

"Kayak Pelleng, ini satu-satunya makanan khas Pakpak yang harus dipatenkan. Banyak lagi sebenarnya, doakanlah biar DPRD-nya produktif. Budaya dan adat ini bagian dari sejarah, siapa yang menghargainya akan besar," kata pecinta musik yang sudah memproduksi dua album itu.

Dia berasumsi, kurangnya menghargai sejarah ini menjadi salah satu indikator suku Pakpak tidak bangkit dan muncul. Sudah banyak orang-orang suku Pakpak sukses di kancah provinsi dan nasional, tapi sayang, marganya dihilangkan ketika sukses. Kebanyakan marga pengganti adalah marga dari suku Batak Toba.

"Untung almarhum Husni Kamil Manik tidak melakukan hal bodoh ini. Apakah mereka di kampung orang, mencari perlindungan dengan menjual marga?" kata dia seraya menyebut sederet marga setempat seperti Anakampun, Bancin, Tumangger, dan Boangmanalu.

Sonni meminta pemerintah memperhatikan suku Pakpak dan membantu mengembangkan potensi daerah dengan infrastruktur. Jangan seperti dianaktirikan atau sengaja dibiarkan untuk punah. Ia berharap ada punya rumah adat Pakpak yang besar dan layak dibanggakan.

"Untuk yang merasa suku Pakpak, bangkitlah! Jangan malu berbahasa Pakpak dan membawa adat di mana pun, tanpa harus membenci budaya lain. Suku lain juga harus menghargai kami. Lakukanlah upaya-upaya kecil yang berarti," kata politisi Partai Demokrat itu.

Bupati Pakpak Bharat Remigo Yolando Berutu mengatakan, tidak ada yang tahu nasib suku Pakpak ke depannya. Empat suak suku Pakpak di luar Kabupaten Pakpak Bharat nyaris hilang.

Karena itulah, muncul perda-perda untuk melindungi melestarikan suku setempat. Suku Pakpak di Pakpak Bharat bukan kelompok marjinal sehingga harus dilindungi dan diantisipasi karena ancaman bisa datang kapan saja.

Upaya itu membuat kabupaten di ujung Provinsi Sumatera Utara ini tiga langkah lebih maju dari daerah-daerah lain yang masih berkutat dengan rancangan perda-perda adatnya.

"Saya orang Pakpak, ketua DPRD-nya orang Pakpak, ini dari presentasi pemerintahan. Kontraktornya orang Pakpak, petaninya orang Pakpak, pelaku usahanya juga orang Pakpak, tidak ada suku Pakpak yang terpinggirkan di sini. Ini yang kami inginkan tidak berubah," kata Remigo.

Sebelum 1932, seluruh Dairi dihuni suku Pakpak namun sekarang suku Batak Toba menjadi mayoritas. Remigo menilai hal itu sebagai catatan buruk.

Dia mencontohkan, jika marga Ujung meninggal dunia dan ingin dikebumikan di tanah ulayat marga Ujung, tanahnya sudah tidak ada lagi. Sudah jadi milik suku lain. Saat ini, tanah marga Ujung menjadi ibu kota Kabupaten Dairi, yaitu Sidikalang.

"Itu suku Pakpak, suak Keppas, marganya jelas. Mungkin kalau ada marga Ujung yang meninggal, tak ada lagi tempatnya di tanah Ujung. Begitulah kira-kira," kata bupati dua periode tersebut.

Penerbitan perda adat itu menjadi pemicu untuk memperbaiki semua kekurangan. Remigo dalam kebijakan-kebijakannya mengacu pada isi perda bahwa adat harus dilindungi di setiap mengambil keputusan.

Perda juga harus memberikan dampak peningkatan ekonomi masyarakat, bisa dari sektor pariwisata dan pengembangan budaya. Ia berharap perda tersebut menjadi model bagi daerah-daerah lain.

Di tempat berbeda, Ketua Dewan Pertimbangan Sulang Silima marga Manik Pergetteng-Getteng Sengkut (DP PGGS) sekaligus Ketua Lembaga Adat Budaya Pakpak Simsin (LABPS) St Gr JH Manik (79) mengapresiasi inisiatif DPRD dan pemerintah setempat dalam melestarikan adat dan budaya suku Pakpak. Akan tetapi, ia berharap wewenang diberikan kepada masing-masing marga.

"Jangan diintervensi, pemerintah cukup memfasilitasi dan mendukung saja. Ini harapan kami," ucap Manik.

Menurut Manik, pemerintah seharusnya merangkul Sulang Silima-Sulang Silima, membentuk forum seperti Forum Kerukunan Umat Beragama. Forum ini menjadi jembatan kerja sama antar Sulang Silima, bukan malah pemerintah membentuk Sulang Silima.

Ketika akhirnya lahir Perda Sulang Silima Suak Simsim, dia setuju, tetapi dengan tujuan mendorong masing-masing marga mendirikan lembaga adatnya.

"Sebelum ada Jepang, Belanda, dan pemerintahan Republik Indonesia, Sulang Silima ini sudah ada," kata Empung Jordan, begitu biasa dia dipanggil.

Sulang Silima adalah sistem organisasi sosial yang dijunjung tinggi suku Pakpak, terdiri dari susunan kekerabatan yang melekat pada satu marga.

Ada lima unsur di dalamnya, yaitu Berru, Puang, Sebeltek, Sinina dan Kula-kula. Kelima unsur ini menjadi penentu dalam setiap pengambilan keputusan dan pemberi sanksi hukum bagi yang melakukan pelanggaran.

"Di sinilah polisinya, jaksanya, rajanya, di satu kampung. Siapa yang tua, itulah dituakan. Kalau dulu, kalau sudah dibilang Sulang Silima orang ini bersalah, potong di atas air, itu hak mereka. Kalau sekarang tidak mungkin lagi," ucap pensiunan guru ini.

Sulang Silima tidak bisa dibentuk orang lain, apalagi pemerintah. Manik melancarkan protes saat DPRD mengeluarkan rancangan pembentukan Sulang Silima Kabupaten Pakpak Bharat. Karena protes itu, dilakukanlah revisi hingga muncul Perda Sulang Silima Suak Simsim.

"Yang ada itu Sulang Silima marga Manik, Sulang Silima marga Berutu, Sulang Silima marga Padang. Tidak ada hak saya membentuk Sulang Silima marga Berutu, merekalah yang membentuk," katanya.

Tidak dibentuk pun, Sulang Silima sudah lahir alami di setiap marga Suku Pakpak. Kini, yang perlu dibentuk adalah kepengurusannya sesuai dengan tuntutan zaman. Perlu ada anggaran dasar dan anggaran rumah tangga organisasi, mengurusi surat-menyurat, hubungan dengan pemerintah, lembaga-lembaga adat lain, notaris, hukum, dan lainnya.

KOMPAS.com / Mei Leandha Ketua Dewan Pertimbangan Sulang Silima marga Manik Pergetteng-Getteng Sengkut (DP PGGS) yang juga Ketua Lembaga Adat Budaya Pakpak Simsin (LABPS) St Gr JH Manik
Bagi tokoh pemekaran ini, adat dan budaya suku Pakpak di Kabupaten Pakpak Bharat masih terjaga. Masyarakatnya melawan gerusan zaman dengan tetap melaksanakan kegiatan-kegiatan adat dalam kehidupan sehari-hari.

Contohnya adalah menggunakan bahasa Pakpak, melakukan ritual adat saat mulai menanam padi dan pesta pernikahan.

Ketika ditanya apakah suak lain juga masih melakukannya, Manik menggeleng. "Di sini kalau tidak dilakukan dengan adat, rasanya janggal, namanya masyarakat adat. Semua perkawinan harus berjalan adatnya, di sinilah pelaksanaan adatnya masih murni dibanding daerah lain," ucapnya.

Dia tidak memungkiri bahwa pengaruh etnis lain membuat pergeseran budaya asli. Maka dibuatlah kesepakatan bersama bahwa setiap pelaksanaan adat yang berlangsung di Pakpak Bharat harus menggunakan adat Pakpak.

"Jangan mendominasi adat lain! Makanya ada falsafah, di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Banggalah jadi orang Pakpak," katanya sambil mengenakan baju pemimpin suku.

Dia menunjuk simbol dan garis-garis warna yang ada di pakaian gelap itu, semuanya penuh makna dan pesan kebaikan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com