Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Semarang, Cangkul Asal China Sudah Lama Dijual

Kompas.com - 01/11/2016, 14:15 WIB
Kontributor Ungaran, Syahrul Munir

Penulis

UNGARAN, KOMPAS.com - Kebijakan mengimpor cangkul dari China menjadi kontroversi di masyarakat.  Banyak yang terusik lantaran kebijakan ini dinilai mencederai kedaulatan Indonesia di bidang pertanian.

Namun ternyata, cangkul dari China ini bukanlah barang baru. Setidaknya di sejumlah pasar tradisional di Kabupaten Semarang, cangkul asal pabrikan China ini sudah lama diperjualbelikan.

"Kalau sejak kapan lupa saya, tapi sudah lama cangkul China ini dijual," kata Sri (45) pemilik kios Blok D 13, Pasar Babadan yang khusus menjual alat-alat pertanian saat ditemui, Senin (31/10/2016).

Menurut Sri, harga cangkul asal China lebih mahal dibandingkan dengan cangkul produksi dalam negeri. Cangkul asal China dihargai Rp 85.000 per buahnya. Sedangkan cangkul produksi sebuah pabrik asal Surabaya hanya Rp 35.000, satu buahnya. Meski demikian, cangkul asal China lebih laku karena lebih awet.

"Banyak yang suka cangkul China karena kekuatannya 10 kali lipat. Kalau beli yang lokal, sudah ganti sepuluh kali, cangkul yang China ini masih awet," ujarnya.

Sepintas, cangkul China yang dijual di kios milik Sri ini tidak begitu kentara perbedaanya dengan cangkul buatan lokal. Hanya sedikit lebih lebar dan diberi cat warna hitam pada daun cangkulnya.

Ada cap timbul berupa dua bulatan dan stiker bulat warna hijau putih bergambar ayam dan tulisan China. Sementara cangkul pabrikan lokal, diberi cat biru pada daun cangkulnya dan stiker prisma warna hijau putih dan bergambar ayam jago.

Sri lantas menunjukkan letak keawetan cangkul asal China ini. Yakni antara mata cangkul dengan bawak atau lubang tangkai tidak ada sambungannya. "Kalau yang dari Surabaya ini, cangkul dengan lubang gagangnya itu besinya sambungan," ucapnya.

Berdasaran pengalamannya, penggunaan cangkul impor dengan cangkul lokal juga berbeda. Kata Sri, cangkul impor lebih banyak dipakai untuk proyek-proyek besar, sedangkan proyek-proyek skala rumahan lebih banyak memakai cangkul pabrikan lokal.

"Seperti Rusunawa, Nissin, Sidomuncul yang ambil di saya kebanyakan yang cangkul China. Tapi kalau perumahan itu cangkul biasa," ujar dia.

Selain cangkul China dan cangkul pabrikan dalam negeri, sebut dia, ada juga cangkul yang dibuat oleh industri rumah tangga, yakni yang dibuat oleh para pandai besi. Jenis cangkul ini juga lebih kuat dari cangkul pabrikan lokal dan lebih disukai oleh para petani.

"Harganya di atas pacul pabrikan Indonesia, tapi banyak yang suka," katanya.

Berbeda dengan Sri, penjual cangkul lainnya di Pasar Babadan, Ika Susanti justru menjual cangkul asal China yang kualitasnya jauh di bawah cangkul buatan lokal.

Ika menjual cangkul buatan China Rp 40.000, sedangkan cangkul lokal bisa mencapai Rp 70.000 per buah.

Pembeli jenis cangkul lokal ini, kata Ika, kebanyakan adalah dari kalangan tukang bangunan dan rumah tangga.

"Kalau di tempat saya lebih mahal yang lokal. Yang lokal kayak gini kan tebal-tebal mas, RP 70.000 sudah termasuk murah. Kalau yang tipis-tipis paling buat praktik di sekolah, buat SMK-SMK pertanian itu to," ujar Ika, saat ditemui pada Selasa (1/11/2016) siang.

Senada dengan Ika, penjual alat pertanian lainnya di Pasar Babadan, Sugeng Sujarwanto mengungkapkan, mata cangkul yang diimpor dari China yang dijual di kiosnya secara kualitas memang kurang bagus. Namun justru lebih laku daripada mata cangkul buatan lokal, karena harganya lebih murah.

"Kalau lokal, sambungan bajanya itu lebih keras daripada yang impor. Kalau laris ya laris yang murah, karena itu kadang cuma dipakai buat bangunan," kata Sugeng.

Baca juga: Mosok Cangkul saja Impor..

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com