Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Demi Neneknya, Irna Tak Lanjutkan Sekolah dan Bekerja Mengupas Bawang

Kompas.com - 04/10/2016, 14:06 WIB

Tim Redaksi

MANADO, KOMPAS.com - Remaja ini sedang menyelesaikan pekerjaannya mengupas bawang putih saat Kompas.com menyambangi hunian mereka di tepi kali Jengki, Sindulang Satu, Manado.

Irna tak lagi bersekolah sejak masih anak-anak. Gadis berusia 17 tahun ini tak menikmati bangku pendidikan sejak kelas 4 sekolah dasar. Sehar-hari dia menghabiskan waktu dengan mengupas bawang.

"Saya diupah Rp 3.000 setiap kilogram bawang yang saya kupas. Bawang ini milik para pedagang di Pasar Bersehati," ujar Irna, Selasa (4/10/2016).

Dari upah mengupas bawang itulah, Irna menghidupi neneknya, Bipo Tompo yang mengaku telah berusia 98 tahun. Irna bersama Bipo tinggal di hunian yang nyaris tak layak.

Sebuah ruangan yang hanya berukuran sekitar tiga kali empat meter.

"Ini baru di atap seng. Itu pun sengnya lubang-lubang karena hanya disumbang orang. Dindingnya dari tripleks bekas. Dulu hanya ditutupi terpal," tutur Jami Ayuba, salah satu anak Bipo.

Bipo telah tinggal di Sindulang Satu sejak sekitar 40 tahun lalu. Berbagai perubahan karena pembangunan telah dilewatinya, termasuk pembangunan Jembatan Soekarno.

Hunian mereka hampir tepat berada di bawah jembatan yang megah itu. Pemerintah Kota Manado kini mencoba menata kawasan kumuh itu menjadi lebih baik.

Berbagai fasilitas kini mulai dibangun di kawasan yang warganya mayoritas bermata pencaharian sebagai pedagang di pasar. Irna terpaksa berhenti sekolah sejak SD dan menguburkan impiannya sampai SMP karena ketidakmampuan membiayai pendidikan.

Neneknya merawat Irna sejak baru lahir, karena ayahnya meninggal. Ibunya merupakan anak kelima dari sembilan anak Bipo. Dua telah meninggal, dan tujuh lainnya termasuk Jami, hingga kini masih berjualan di Pasar Bersehati. Pasar yang juga dulu menjadi tempat Bipo mencari rezeki.

"Ya, kami hidup pas-pasan sebagai penjual rempah-rempah di pasar. Dari sejak ibu kami berjualan di pasar Bersehati, kami tidak pernah mendapat petak yang tetap. Selalu saja petak-petak itu hanya bagi orang yang mampu," kata Sani Ayuba (40), anak bungsu Bipo.

Bipo sendiri sudah tidak mampu beraktifitas lebih. Selain sudah sepuh, kini nenek itu mengalami kebutaan. Praktis kemana pun dia bergerak sangat tergantung dengan kehadiran Irna.

"Saya harus menuntun nenek kemana pun dia bergerak. Kadangkala kalau angin bertiup dan lagi musim ombak hingga ke gubuk kami, saya harus memopong nenek untuk dilarikan ke lokasi yang lebih aman," tutur Irna.

Irna pula lah yang sehari-hari mengurus neneknya, apapun itu yang dibutuhkan. Di hunian yang hanya ada satu kursi plastik itu mereka berdua menjalani hidup, jauh dari standar layak.

"Kami tidak pernah sama sekali menerima bantuan apapun, termasuk jaminan kesehatan. Sudah dua kali tempat kami dilanda banjir besar, tempat kami hancur, untung kami bisa selamat. Tapi kita tidak juga menerima bantuan apa-apa, padahal orang lain terima bantuan sampai perbaikan rumah," keluh Bipo.

Kesetiaan Irna menjaga neneknya patut diacungi jempol, walaupun di sisi lain prihatin dengan kondisi pendidikannya yang harus terhenti. Irna juga harus menjadi buruh lepas demi menghidupi neneknya.

"Kami juga tidak bisa berbuat banyak, karena penghasilan kami juga pas-pasan, hanya cukup buat makan sehari-hari," kata Sani.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com