Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Dewi Suryana: Jalan Berliku Peraih Beasiswa di Singapura (2)

Kompas.com - 20/09/2016, 18:47 WIB
Ericssen

Penulis

SINGAPURA, KOMPAS.com - Sederet prestasi akademik tidak menjadi jaminan bagi Dewi Suryana untuk diterima kuliah di National University of Singapore (NUS). Akan tetapi, itu semua tidak menghalangi usahanya untuk menyelesaikan pendidikan bergengsi di Singapura.

Dewi lulus S-1 dengan predikat prestisius First Class Honours di Nanyang Technological University (NTU), Singapura. Gelar sarjana yang biasanya diraih setelah pendidikan selama empat tahun, oleh Dewi dipangkas menjadi tiga tahun. Ia diwisuda pada 30 Juni 2016.

Dewi melalui jalan berliku untuk mendapatkan tempat di kampus ternama itu. Salah satunya karena keluarganya tidak memiliki cukup uang untuk membiayai studinya.

(Baca juga Kisah Dewi Suryana: Dari Keluarga Sederhana, Lulus Memuaskan di Singapura [1])

Prestasi Dewi di bidang akademik cukup mentereng. Saat masih duduk di bangku SMP, Dewi pernah meraih medali perak pada International Junior Science Olympiad (IJSO) di Azerbaijan (2009).

Ia kembali menyabet perak di International Chemistry Olympiad (IChO) di Amerika Serikat (2012).

Ia juga selalu mendapatkan beasiswa ketika menempuh studi di SMP Immanuel, Pontianak, Kalimantan Barat, dan SMAK Penabur, Gading Serpong, Tangerang.

Setelah lulus SMA, gadis kelahiran 9 September 1995 itu membidik cita-citanya untuk kuliah di jurusan farmasi NUS. Ia berhasil memenuhi seluruh persyaratan masuk universitas bergengsi di kawasan Kent Ridge, Singapura, kecuali satu hal.

"Tuhan berkata lain, saya tidak diterima di NUS karena kemampuan bahasa Inggris saya di bawah standar NUS," ujar Dewi kepada kontributor Kompas.com Ericssen di Singapura, awal September lalu.

Seketika dunia Dewi menjadi gelap. Cita-citanya sejak kecil agar bisa kuliah sambil bekerja di luar negeri untuk membantu menafkahi keluarganya di Pontianak kandas di tengah jalan.

"Tentu penghasilan di Indonesia baik, namun kurs mata uang membuat penghasilan saya lebih tinggi di Singapura dan akan sangat membantu menghidupi keluarga saya terutama biaya pengobatan ayah yang sakit," kata anak kedua dari empat bersaudara tersebut.

Kegagalan itu membuatnya "banting setir" dan urung kuliah di luar negeri. Ia mengalihkan pilihan ke kampus dalam negeri, yakni Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Dewi tidak meragukan kualitas UI, tetapi pilihan itu sulit. Dia ragu karena setidaknya perlu waktu paling cepat 5 tahun untuk menuntaskan ilmu kedokteran. Itu belum termasuk jika harus mengambil spesialisasi.

Dengan kondisi ayah yang sakit-sakitan dan kedua adik yang masih bersekolah, Dewi galau tidak menentu untuk melanjutkan studi di sana.

Cerita mengenai kesulitan Dewi sampai ke telinga Anton Wardaya, pendiri lembaga pendidikan Wardaya College di Jakarta tempat Dewi bekerja paruh waktu ketika SMA.

Ketika Anton mengadakan study tour ke Singapura pada Mei 2013, ia berbicara kepada salah satu profesor Nanyang Technological University (NTU). Ia meyakinkan bahwa Dewi dengan sederet prestasinya layak masuk universitas itu.

Gayung bersambut, NTU secara mengejutkan mengizinkan Dewi untuk mengirim berkas aplikasi walau sejatinya pendaftaran penerimaan mahasiswa sudah ditutup.

Tak lama kemudian, Dewi diterima di NTU sekaligus mengakhiri ketidakpastian yang sempat menghinggapinya. Sekali lagi studi Dewi kembali terselamatkan.

Namun, masih ada tantangan lainnya. Dewi harus mencari uang untuk biaya kuliahnya. Tidak mungkin ia mendapatkan uang selain berburu beasiswa.

Tawaran beasiswa pun datang ke meja Dewi. Tidak hanya satu, tetapi dua kesempatan sekaligus.

Dewi mendapat pilihan, pilih beasiswa pemerintah Singapura melalui Kementerian Pendidikan Singapura atau beasiswa Olimpiade Sains Internasional dari pemerintah Indonesia.

"Pemerintah Indonesia telah mengapresiasi secara spesial prestasi olimpiade saya melalui beasiswa ini, itu alasan saya memutuskan mengambil beasiswa dari Indonesia," ucapnya.

Selain itu, beasiswa tersebut tidak menerapkan ikatan kerja dinas seperti beasiswa dari Singapura. Beasiswa dari Indonesia serta juga memberikan uang lengkap untuk kuliah dan uang saku.

Masalah biaya hidup di Negeri Singa selesai, pikirnya. Ternyata tidak, perkiraannya meleset.

Dewi baru tahu bahwa beasiswa dari Indonesia ternyata tidak semulus yang dibayangkan.

Pencairan beasiswa itu selalu terlambat sehingga ia harus pintar-pintar mengatur pengeluarannya agar bisa cukup hingga masa pencairan selanjutnya.

Di situlah perjuangan hidupnya kembali diuji. Dewi harus membanting tulang di Singapura.

Simak kehidupan sederhana Dewi di Singapura, makan dengan lauk sederhana hingga membuatnya minder pada artikel Kisah Dewi Suryana: Beli Lauk Seadanya demi Kuliah di Singapura (3).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com