Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politisi Aceh: Tidak Ada Masalah dengan Bendera Bulan Sabit Bintang

Kompas.com - 30/03/2016, 15:13 WIB
Masriadi

Penulis

LHOKSEUMAWE, KOMPAS.com – Ketua Badan Legislasi DPR Aceh (DPRA), Iskandar Usman Al-Farlaky, menyayangkan sikap pemerintah pusat yang hingga hari ini masih mempermasalahkan bendera bulan sabit bintang.

Menurut Iskandar, keberadaan bendera Aceh sebagaimana diatur dalam Qanun Aceh Nomor 3 Tahun 2013 tidak bertentangan dengan aturan manapun di republik ini.

“Saya tegaskan bahwa tidak ada masalah dengan bendera itu. Tapi kenapa seolah-olah ada hal yang besar. Parahnya lagi, persoalan bendera selalu menjadi bahan benturan antar-kelompok di Aceh, dan pusat justru terkesan melakukan pembiaran. Ini yang kita sayangkan,” ujarnya, Rabu (30/3/2016) siang, menanggapi soal pemberitaan terkait bendera.

Dikatakannya, qanun tentang bendera dan lambang Aceh sudah sejak lama disahkan DPR Aceh. Namun kemudian, Kementerian Dalam Negeri menolak pemberlakuannya sehingga berdampak pada penerapannya di Aceh.

Al-Farlaky menilai, penolakan pusat terhadap bendera Aceh sebagai sesuatu yang tidak mendasar. Konon lagi dikait-kaitkan dengan semangat NKRI.

“Isu ini yang selalu dijadikan dasar menolak keberadaan bendera Aceh. Tapi itu kan tetap cuma sebatas isu, karena hingga detik ini pemerintah pusat belum sekalipun menyampaikan alasan penolakan secara terbuka,” katanya.

Dia mengatakan, Aceh merupakan bagian mutlak dari Republik Indonesia. Menurut Al-Farlaky, bendera bulan sabit bintang bukan sebagai simbol mewujudkan semangat memisahkan diri.

Mantan aktivis ini juga menyinggung ketidaktegasan Pemerintah Aceh dalam menyikapi pemberlakuan qanun bendera. Ketidaktegasan tersebut dinilainya menjadi masalah lain sehingga persoalan tersebut menjadi berlarut-larut.

“Sikap eksekutif juga sangat lucu. Qanun diajukan, tapi setelah disahkan malah semua instansi melarang bendera itu dinaikkan,” tandas Iskandar.

Politis termuda di DPR Aceh ini juga mengatakan, Presiden Joko Widodo harus ikut andil menyelesaikan polemik terkait bendera Aceh.

“Cuma tiga hal yang bisa membatalkan aturan daerah atau qanun. Pertama, dicabut sendiri oleh gubernur atau DPR Aceh, dibatalkan oleh Mendagri melalui Perpres sebagaimana disebutkan dalam UU No 11 Tahun 2006, atau pembatalan oleh MK melalui judicial review,” paparnya.

Hingga saat ini, sambung Iskandar, tidak pernah ada rekomendasi Kemendagri menolak ataupun mencabut pemberlakuan qanun tersebut.

“Dengan demikian, berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 53 Tahun 2011 tentang pembentukan produk hukum daerah, maka tidak ada lagi persoalan dengan qanun bendera,” jelasnya.

Iskandar menegaskan, kewenangan Aceh menggunakan simbol-simbol wilayah seperti lambang dan bendera telah lebih dulu diamanatkan dalam memorandum of understanding (MoU) Helsinki antara pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka.

“Jadi tidak benar kalau tidak diatur dalam MoU. Jelas dan terang sekali disebutkan bahwa Aceh punya hak menentukan dan menggunakan bendera dan lambang sendiri. Dan, yang perlu saya tegaskan, dalam butir-butir MoU tidak ada pelarangan tertentu mengenai lambang maupun bendera,” pungkasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com