Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menghitung Ancaman di Waduk Saguling

Kompas.com - 18/09/2015, 11:11 WIB
Kontributor Bandung, Dendi Ramdhani

Penulis

BANDUNG, KOMPAS.com — Langkah Haryanto melamban. Pria berambut putih itu menghela napas panjang saat melihat sampah bertebaran di aliran Waduk Saguling. Dahinya mengerut kala air dari Sungai Citarum itu mengeluarkan bau busuk.

Tanah di bantaran waduk pun berwarna hitam pertanda kontaminasi sungai sudah sangat mengkhawatirkan. Itulah fakta yang ditemukan saat sejumlah pegawai dari PT Indonesia Power selaku Unit Pembangkit Saguling melakukan penelusuran ke sejumlah titik di kawasan hulu Waduk Saguling, Jumat (18/9/2015).

Haryanto memang akrab dengan Waduk Saguling. Dia menjadi salah satu aktor yang turut melahirkan Bendungan Saguling pada 1986. Dia memiliki ikatan batin yang kuat dengan Waduk Saguling.

Haryanto yang kini menjadi Manajer Lahan dan Lingkungan PT Indonesia Power mengisahkan, saat diresmikan pada tahun 1986, Waduk Saguling disambut gegap gempita. Selain menjadi penghasil 700 megawatt listrik untuk wilayah Jawa-Bali, Waduk Saguling juga dikembangkan menjadi bendungan multiguna, termasuk untuk pengembangan perikanan, agri-akuakultur, serta kawasan wisata.

"Yang pertama pada dasarnya kita prihatin juga dengan kondisi waduk kita, terutama di bantaran waduk karena di sisi lain bantaran waduk menjadi jagaan bendungan kita, terutama di sisi volume tampung. Kalau dilihat, ternyata ada permasalahan terkait dengan lingkungan," kata Haryanto.

Keberadaan Waduk Saguling memang diharapkan menjadi pendongkrak ekonomi masyarakat sekitar. Namun, alih-alih menjadi wisata, Waduk Saguling bisa menjadi ancaman. Aksi pencemaran limbah industri dan rumah tangga membuat kualitas air sangat berdampak buruk terhadap turbin pembangkit.

Tak hanya itu, tingginya laju sedimentasi mempercepat pendangkalan waduk. Aksi penyerobotan lahan di kawasan waduk pun berakibat mengikis daya tampung waduk.

PT Indonesia Power mencatat, percepatan sedimentasi mencapai 4,3 juta meter persegi per tahun serta 1,5 hektar sampah tiap hari. Kondisi itu membuat desain usia waduk yang semula untuk 59 tahun bakal terpangkas.

"Kalau lihat dari laporan dari tim Unpad dan ITB ternyata kalau saya, kualitas air kita masuk golongan D, bukan untuk perikanan dan air baku minum. Hanya untuk PLTA di sana juga ada permasalahan dengan tingkatan korosinya. Di pinggiran waduk ada tanah hitam, nah itu tanda residunya sudah sangat tinggi," katanya.

Menurut Ahli Muda Pengelolaan Lahan dan Lingkungan PT Indonesia Power UP Saguling Amin Alimin, secara regulasi, pembuangan limbah ke sungai mutlak memerlukan pengolahan terlebih dulu.

Namun, pada kenyataannya, aturan tersebut dapat disangsikan ketaatannya karena dampaknya telah terbukti.

"Catchment area kami kan sangat luas, sedangkan jumlah pabrik itu bukan ratusan lagi, tapi sudah ribuan. Semua pabrik itu tentu punya instalasi pengolahan air limbah. Hanya saja, pabrik-pabrik ini mau berkomitmen memproses limbahnya atau tidak? Soalnya, biaya pengolahannya kan sangat mahal, terutama untuk bahan kimianya," kata Alimin.

Pencemaran Citarum

Beragam ancaman bagi operasional Waduk Saguling tak bisa lepas dari pencemaran sungai Citarum. Ibarat penyakit komplikasi yang sudah kronis, persoalan Citarum hingga kini tak kunjung tuntas.

Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan Harja mengungkapkan, dalam 10 tahun terakhir, pemerintah menggelontorkan uang sekitar Rp 2 triliun, termasuk dana pinjaman dari Asian Development Bank, untuk perbaikan Sungai Citarum. Namun, dana tersebut terkesan mubazir lantaran hingga kini tak ada efek yang signifikan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com