Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka Tak Mau Kembali ke Benjina

Kompas.com - 22/05/2015, 16:00 WIB

KOMPAS
- "Apakah Anda mau pulang?" Myint Thu (23) hanya bisa mengangguk saat petugas Organisasi Internasional untuk Migrasi menanyai warga negara Myanmar itu. Myint Thu langsung menandatangani kolom pendaftaran anak buah kapal asing yang ingin pulang ke negaranya.

Selasa siang lalu proses pemulangan itu berlangsung. Sebanyak 284 anak buah kapal (ABK) asing PT Pusaka Benjina Resources (PBR) diangkut dengan feri dari Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, menuju Tual, Maluku. Perjalanan membutuhkan waktu sekitar 12 jam. Tercatat 204 ABK asal Myanmar dan 38 ABK asal Kamboja siap dipulangkan. Selain itu, 42 ABK asal Thailand yang lanjut usia, bekerja di bawah umur, dan menderita sakit juga ikut diboyong ke Tual untuk dirawat. Beberapa pekerja terlihat kakinya pincang, mengalami gangguan mental, dan mengalami cacat fisik.

Setelah bertahun-tahun bekerja di PT PBR, ABK asing pulang rata-rata hanya membawa satu-dua barang bawaan berupa koper, kantong plastik, kardus, ataupun karung. Jumlah ABK asal Thailand yang ingin pulang terdata 419 orang dari total 612 ABK. Namun, para ABK itu harus menunggu respons dari Pemerintah Thailand untuk bisa dipulangkan.

Pendataan dan pengidentifikasian ABK asing dilaksanakan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) sejak Minggu hingga Selasa. Kegiatan itu difasilitasi Kementerian Kelautan dan Perikanan; Satuan Tugas Pencegahan dan Pemberantasan Penangkapan Ikan Ilegal, Tak Dilaporkan, dan Tak Diatur; serta Kepolisian Negara Republik Indonesia. Setelah didata, setiap ABK ditanyakan keinginannya untuk pulang ke negaranya atau menetap di Benjina. Sebelumnya, IOM telah memfasilitasi pemulangan secara bertahap 311 ABK asing PT PBR, meliputi 58 warga Kamboja dan 253 warga Myanmar.

PT PBR, perusahaan penanaman modal Thailand, berhenti beroperasi menyusul moratorium izin kapal ikan buatan luar negeri serta keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mencabut surat izin usaha perikanan, surat izin penangkapan ikan, dan surat izin kapal pengangkut ikan milik perusahaan. Perusahaan yang diresmikan pada 2007 itu tengah tersandung kasus dugaan perdagangan manusia dan dugaan praktik penangkapan ikan ilegal.

Myint Thu, yang sudah bekerja lima tahun di PT PBR, telah menikah dan punya satu anak berumur tujuh bulan. Namun, ia ingin pulang ke kampung halaman di Myanmar guna membuat paspor.

"Ke depan, saya ingin tinggal bersama keluarga di kampung halaman istri di Jawa," kata Myint Thu.

Selama bekerja di PT PBR, ia menerima penghasilan hanya Rp 1 juta per bulan. ABK di kapal lain mendapatkan penghasilan Rp 500.000 setiap 10 hari. Kontrak kerja yang dijanjikan empat tahun ternyata juga sudah melewati lima tahun.

Tak mau kembali

Pekerja PT PBR asal Thailand berinisial MO (27), yang diboyong ke Tual, berharap bisa dipulangkan ke negaranya tanpa harus kembali lagi bekerja di Benjina. Sejak bekerja di kapal ikan PT PBR pada Juni 2014, ia mengaku adanya diskriminasi dalam pengupahan, kerja paksa, hingga kekerasan.

MO menuturkan, sewaktu ditawari bekerja, dirinya diiming- imingi pendapatan 9.000 baht atau setara dengan Rp 3,55 juta per bulan dengan masa kontrak kerja tiga tahun. Namun, bayaran yang dia dapatkan hanya Rp 400.000 per 10 hari bekerja. Dari tekong atau nakhoda kapal, ia mendapat informasi bahwa perusahaan masih menyimpan akumulasi upahnya sebesar 72.000 baht yang baru dibayarkan saat ia kembali ke Thailand.

Ia pernah mengutarakan keinginan untuk pulang ke Thailand, tetapi perusahaan meminta agar kepulangannya ditunda. Waktu kerjanya di kapal ikan mencapai 12 jam per hari. Terkadang ia menyaksikan ABK asal Myanmar dipukul atau diikat di kursi jika dianggap bersalah.

"Kalau nanti pulang, saya mau menyembuhkan badan saya yang sakit. Belum ada rencana mau kerja di mana, tetapi saya tidak mau kembali lagi ke Benjina," ujar MO.

Beristri di Benjina

Lain halnya dengan Ouk Kosal (33) alias Cat, ABK asal Kamboja. Ia memilih tetap tinggal di Benjina. Setelah 10 tahun bekerja di PT PBR, ia memiliki keluarga dengan tiga anak. Kepada utusan Kedutaan Besar Kamboja, awalnya Cat menyatakan ingin pulang. Belakangan, Cat mengurungkan niat tersebut.

"Istri saya menangis meminta saya tidak ikut pulang. Bagaimana lagi, saya punya keluarga di sini," ucap Cat.

Istri Cat, Yunita Titirlolobi (24), tersenyum lebar saat suaminya memutuskan untuk bertahan di Benjina. Ia yang sejak awal mendampingi Cat selama pendataan menyatakan suaminya akan bekerja apa saja sekalipun tidak lagi di PT PBR.

Pengalaman Myint Thu, MO, dan Cat adalah potret pengalaman pahit perdagangan manusia karena ketakberdayaan menghadapi pengangguran. Ini pelajaran penting bagi tenaga kerja Indonesia.... (BM Lukita Grahadyarini)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com