"Kira-kira sudah sejak 10 tahun lalu kami mengadakan tradisi seperti ini," kata Ketua Yayasan Eka Dharma Manggala, Hendy Teguh Kusnadi.
Hendy mengatakan, menghadirkan rupa Cai Shen saat membagi angpau menjadi refleksi rezeki dalam kehidupan manusia. Warga etnis Tionghoa memercayai bahwa pada tahun yang baru selalu ada harapan akan rezeki yang semakin baik dan berlimpah.
"Angpau menjadi gambaran rezeki pertama pada pembukaan tahun yang dijalani," kata Hendy.
Melengkapi tradisi ini, wihara juga menyajikan tari liong (naga) dan menyanyi lagu-lagu selamat tahun baru berbahasa Mandarin bersama 500-an jemaat yang hadir. Selain itu, jemaat menyempatkan menaikkan harapan-harapannya untuk sepanjang tahun baru ini dengan menggantungkannya pada sebuah pohon doa sejenis pohon bunga mei hwa.
Pengharapan tiap orang ditulis dalam secarik kertas, dimasukkan ke amplop merah, lalu digantung di dahan yang paling tinggi dengan harapan naik ke Tuhan pada hari Cap Go Meh atau hari ke-15 setelah pergantian tahun.
Perayaan ini menjadi pemuncak dari ibadah yang sudah lebih dulu berlangsung selama tiga jam. Ibadah yang dipimpin dua biksu itu digelar menyambut tahun baru, tutup tahun, dan merayakan kelahiran Buddha Maitreya.
Di ibadah itu, mereka memanjatkan doa pertobatan dan memohon tuntunan hidup kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan cara Pai-pai (bersujud). Mereka juga mendoakan kedamaian negeri ini dan Kota Balikpapan tempat mereka tinggal.
Ketua wihara, Oei Johni, mengatakan, pertikaian bisa menghambat apa pun, termasuk beribadah dan memperoleh rezeki. "Ini tahun kambing kayu. Kambing itu suka beradu (memperagakan saling tumbuk). Kita mohon dihilangkanlah kejadian (benturan) ini. Kita berharap, negeri ini tetap damai," kata Johni.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.