Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Ibu-ibu Perkasa di Kolong Jembatan Cirebon

Kompas.com - 22/12/2014, 19:15 WIB
Kontributor KompasTV, Muhamad Syahri Romdhon

Penulis

CIREBON, KOMPAS.com – Di kolong jembatan layang itu, ibu-ibu pemecah batu berkumpul. Usia muda hingga manula, semuanya berkerja mencari batu di sungai lalu memecahkannya berkeping-keping. Mereka tampak semangat memecahkan satu per satu batu koral keras itu.

Para wanita perkasa itu memecahkan batu koral di kolong jembatan di Desa Benda, Kelurahan Argasunya, Kecamatan Harjamukti, Kota Cirebon, Jawa Barat. Mereka bekerja mulai dari pagi hingga malam. Batu koral itu sebagian didapat dari sungai yang mengalir dari Kabupaten Kuningan - Kabupaten Cirebon - Kota Cirebon, dan bermuara di Laut Pantura Cirebon. Sebagian lagi diambil dari pasir kali yang sudah diayak.

Mereka menghabiskan separuh hari dari hidupnya di kolong jembatan. Bahkan ada juga yang menjadikan kolong jembatan ini sebagai rumah ke dua mereka. Salah satunya adalah Tummi (37), wanita pemecah batu yang sudah memiliki empat anak. Sambil bekerja memecahkan batu, Tummi juga mengasuh anak keempatnya yang masih berusia enam bulan. Tummi memecahkan tumpukan batu dengan sesekali mengayunkan ayunan bayinya yang lelap tertidur.

“Kalau telat mengayun, ya sudah pasti bangun dan nangis. Apalagi kalau lagi rewel, harus pintar-pintar mengasuhnya,” kata Tummi di sela memecahkan batu, Senin pagi (22/12/2014).

Namun, anehnya, Raisa Khaira Wilda, anaknya yang masih berusia 6 bulan itu, tak bangun sedikitpun di tengah bisingnya suara besi yang beradu dengan batu. Menurut Tummi, kemungkinan anakanya sudah terbiasa tidur dengan suara bising.

Selain di tengah bisingnya aktivitas memecahkan batu, Raisa juga hidup beratapkan jembatan yang setiap menit dilintasi mobil. Selain itu, bayi mungil ini dikelilingi debu kolong jembatan yang kotor. Namun kondisi itu tak membuat sang ibu khawatir atas kesehatan bayinya itu. Tummi merasa lebih kasihan jika Raisa ditinggal sendirian di rumah.

“Bismillah saja mas, dia (Raisa) sejak dua bulan sudah saya bawa ikut kerja di sini. Saya gendong ke kali, dan juga ikut memeprek (memecahkan) batu. Daripada saya tinggal di rumah, tidak ada yang jagain, lebih kasihan lagi kan,” ungkap Tummi.

Tummi memilih untuk menjadi pemecah batu untuk membantu suaminya mencukupi kebutuhan empat anak mereka, Muhamad Khaerudin (17), Muhamad syaifurohman (8), Siti Kuswati (6), dan Raisa Khaira Wilda (6 bulan). Upah suaminya yang berkerja mencari pasir dinilai masih kurang.

Tidak hanya Tummi, beberapa wanita lainnya yang berprofesi sama di kolong jembatan itu menggantungkan harapan mereka dari pecahan batu krikil yang dibeli para pemilik toko material. Satu gribik (baskom yang terbuat dari anyaman bambu, red) dihargai Rp 2.500 – Rp 3.000.

Sailah (43), wanita yang memiliki dua anak, masih mampu menyelesaikan lima hingga tujuh gribik batu per harinya, atau senilai Rp 21.000 per hari. Kalau sedang banyak kebutuhan, dia bekerja keras hingga mempu menyelesaikan 10 gribik atau senilai Rp 30.000.

Meski demikian, uang Rp 30.000 dirasa sangatlah minim dan tak cukup. Apalagi saat ini seluruh bahan kebutuhan pokok mengalami kenaikan harga sehingga Sailah harus benar-benar bekerja keras demi memenuhinya.

“Sakit mah sakit, Mas. Tangan, kaki, dan seluruh badan sakit. Bahkan sampai banyak yang biru-biru begitu. Tapi mau bagaimana lagi, semua harga naik,” ungkap Sailah.

Tummi, Sailah, dan beberapa wanita pemecah batu lainnya di kolong jembatan itu menyadari uang yang didapatnya tak setimpal dengan keringat dan susah payah yang dikeluarkan. Mereka hanya berharap, uang tersebut dapat menambahi penghasilan suaminya yang juga sedikit, agar dapat meneruskan hidup bersama anak-anak mereka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com