"Kami butuh PAD, asalkan dikelola dengan baik, ramah lingkungan, tidak merusak ekosistem dan tidak merusak habitat, kenapa tidak dibuka kembali?” ujar Uu kepada wartawan, Rabu (5/11/2014).
Menurut Uu, permasalahan yang muncul dalam penambangan itu saat ini adalah cara eksploitasi yang tak beraturan dan tak tertata dengan baik. Sehingga banyak bermunculan pelaku tambang yang nekat beroperasi tanpa izin. Ditambah lagi, adanya aktivitas pengangkutan hasil tambang melalui darat yang menganggu masyarakat, serta tidak ada reklamasi di lokasi penambangan. Hal itu menyebabkan beberapa ekosistem dan lingkungan rusak di sekitar lokasi tambang.
“Selama persyaratan teknis dipenuhi oleh perusahaan tambang dan aturan dipakai, tidak masalah penambangan kembali dilakukan. Aturan yang harus dipatuhi itu mulai dari Undang-undang pertambangan, peraturan menteri sampai peraturan daerah,” tambah Uu.
Sementara itu, tanggapan berbeda disampaikan Sekretaris Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Tasikmalaya, Eet Riswanda. Menurut Eet, selama ini PAD yang dihasilkan dari sektor pertambangan pasir besi lebih sedikit dibandingkan kontribusi dari para nelayan. Dalam setahun, PAD dari pertambangan pasir besi hanya bisa diperoleh sekitar Rp 200 juta. Sementara PAD dari perikanan nelayan pesisir selatan Tasikmalaya, per tahun bisa mencapai Rp 2,4 miliar.
“PAD dari pasir besi itu hanya Rp 200 juta per tahun. Coba bandingkan dengan PAD nelayan sudah Rp 2,4 miliar per tahunnya. Pasir besi tidak ada apa–apanya,” ungkap Eet.